PARBOABOA, Jakarta- Kasus pemerkosaan di Indonesia menjadi salah satu topik yang hampir tak rampung dibicarakan.
Di tengah berbagai upaya untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan, data menunjukkan selalu ada peningkatan kasus kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, dari tahun ke tahun.
Fenomena ini tidak hanya meninggalkan luka fisik dan mental bagi korban, tetapi juga menunjukkan bahwa masalah yang lebih dalam terkait ketidakadilan gender dan kurangnya perlindungan hukum yang efektif masih menghantui masyarakat Indonesia.
Data yang dikumpulkan Komnas Perempuan, mencatat bahwa angka pemerkosaan mengalami fluktuasi, tetapi secara keseluruhan tetap tinggi dari tahun 2020 hingga 2024.
Pada tahun 2020, pandemi COVID-19 menjadi salah satu faktor yang memperparah situasi, di mana banyak keluarga terkurung di rumah dalam waktu lama.
Kondisi ini meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga, termasuk pemerkosaan. Pada tahun itu saja, tercatat 431 kasus pemerkosaan.
Jumlah ini meningkat signifikan pada tahun 2021, dengan 515 kasus dilaporkan. Meski pandemi mulai mereda pada tahun 2022, kasus pemerkosaan masih tercatat sebanyak 470 kasus.
Namun, yang paling mencengangkan adalah peningkatan kembali pada tahun 2023, di mana tercatat 512 kasus, dan hingga Oktober 2024, angka tersebut terus naik hingga mencapai 540 kasus.
Lantas, apa yang menyebabkan kasus-kasus pemerkosaan ini terus terjadi? Pemerkosaan tidak terjadi dalam ruang hampa; ada berbagai faktor yang mendasari terjadinya tindakan kekerasan seksual ini.
Belum lama ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa kekerasan seksual, baik yang terjadi secara online maupun offline, termasuk kasus yang paling sulit dibuktikan karena dampaknya sering kali tidak terlihat secara langsung.
Salah satu penyebab utamanya adalah budaya patriarki yang masih mengakar kuat di Indonesia. Dalam banyak budaya, perempuan masih dipandang lebih rendah dari laki-laki, menyebabkan perempuan kerap kali menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual.
Ketimpangan gender dalam pendidikan, pekerjaan, dan status sosial semakin memperparah situasi ini.
Ketika perempuan tidak memiliki akses yang sama terhadap pendidikan atau sumber daya ekonomi, mereka menjadi lebih rentan terhadap kekerasan, termasuk pemerkosaan.
Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi salah satu faktor yang seringkali tersembunyi di balik pintu tertutup.
Banyak perempuan yang menjadi korban pemerkosaan dalam pernikahan, tetapi merasa terperangkap karena takut terhadap dampak sosial atau ekonomi jika melaporkannya.
Pemerkosaan dalam pernikahan seringkali tidak diakui oleh masyarakat, dan ini menambah beban mental bagi korban.
Pengaruh alkohol dan narkoba sering kali dikaitkan dengan tindakan pemerkosaan. Dalam Sajian Khusus Parboaboa bertajuk “Putri Candrawathi (PC) Diperkosa Brigadir Yosua saat di Magelang,” yang tayang Senin (14/10/2024), Putri Candrawathi, istri Sambo, mengungkapkan bahwa saat Yosua memperkosanya, matanya merah dan mulutnya berbau minuman keras.
Contoh ini hanyalah salah satu dari banyak kasus serupa.. Tak jarang, pelaku berada di bawah pengaruh zat-zat berbahaya ini, yang pada akhirnya memicu perilaku kekerasan seksual yang tak terkendali.
Tidak hanya itu, kemajuan teknologi dan akses yang mudah terhadap konten pornografi juga dianggap sebagai faktor penyebab perilaku menyimpang, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.
Akses informasi yang tidak terkendali ini dapat mempengaruhi perilaku seseorang, terutama jika mereka belum memiliki kontrol penuh atas dorongan dan emosinya.
Meskipun demikian, Indonesia tidak tinggal diam dalam menghadapi masalah ini.
Pemerintah telah memperkuat undang-undang untuk melindungi korban kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan.
Salah satu regulasi penting yang berlaku adalah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) No. 12 Tahun 2022.
Undang-undang ini mencakup berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, dan memberikan perhatian khusus pada pemulihan korban.
UU TPKS juga menetapkan hukuman yang berat bagi pelaku kekerasan seksual, sekaligus menyediakan mekanisme pemulihan fisik dan mental bagi korban.
Selain itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pemerkosaan diatur dalam Pasal 285, yang menyatakan bahwa barangsiapa memaksa seorang perempuan untuk bersetubuh di luar pernikahan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan diancam dengan pidana penjara hingga 12 tahun.
Dalam kasus pemerkosaan terhadap anak, pelaku dapat dijerat dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.
Selain regulasi, terdapat pula lembaga seperti Komnas Perempuan dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang bertugas mendampingi korban dalam proses hukum dan memberikan dukungan psikologis.
Namun, meskipun berbagai upaya hukum telah diterapkan, penegakan hukum masih menghadapi tantangan yang tidak sedikit.
Salah satu tantangan terbesar adalah stigma sosial yang menyelimuti korban pemerkosaan.
Banyak korban yang enggan melaporkan kejadian yang menimpa mereka karena takut akan pandangan negatif dari masyarakat.
Stigma ini tidak hanya membuat korban merasa malu, tetapi juga mempersulit mereka untuk mendapatkan dukungan hukum dan pemulihan yang mereka butuhkan.
Selain itu, proses hukum yang lambat dan berbelit-belit sering kali memperpanjang penderitaan korban.
Banyak kasus yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk diselesaikan, dan dalam beberapa kasus, pelaku dengan kekuasaan atau pengaruh dapat menggunakan posisinya untuk menghindari hukuman.
Bukti yang sulit dikumpulkan, terutama jika korban terlambat melapor, juga menjadi tantangan besar dalam menegakkan hukum.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun regulasi sudah ada, implementasi di lapangan masih memerlukan perbaikan.
Untuk mengatasi masalah ini, berbagai langkah perlu diambil, salah satunya adalah meningkatkan edukasi seksualitas di kalangan masyarakat.
Dengan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya menghormati batasan seksual dan hak orang lain, diharapkan dapat mengurangi jumlah kasus kekerasan seksual di masa depan.
Selain itu, perlu ada perbaikan dalam layanan hukum, dengan mempermudah akses bagi korban untuk melapor dan mempercepat proses hukum.
Peningkatan kesadaran masyarakat juga menjadi kunci dalam menghilangkan stigma terhadap korban kekerasan seksual, sehingga mereka merasa lebih nyaman untuk melapor dan mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.
Kasus pemerkosaan di Indonesia mencerminkan bahwa masalah ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga mencakup persoalan sosial yang lebih luas.
Perlindungan yang lebih kuat dan upaya pencegahan yang lebih baik diperlukan agar masyarakat Indonesia, khususnya perempuan dan anak-anak, dapat hidup dengan rasa aman dan terlindungi dari kekerasan seksual.