PARBOABOA, Jakarta - Di bawah bayang-bayang kolonialisme Belanda, masyarakat Indonesia hidup dalam keterkungkungan dan ketidakadilan.
Kehidupan mereka dibatasi oleh aturan-aturan kolonial yang menempatkan pribumi sebagai kelas bawah, sementara kaum Eropa menikmati hak-hak istimewa.
Pribumi tertindas secara ekonomi dan sosial serta mengalami diskriminasi yang menyakitkan. Tetapi, berbeda dengan sosok perempuan yang memiliki karakter kuat, mandiri dan berani bernama Nyai Ontosoroh pada novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Melalui novelnya, Pramoedya membongkar stereotip perempuan di era kolonial yang kerap dianggap lemah, pasif, bahkan hanya sebagai "objek" di tangan para pria.
Sebaliknya, Nyai Ontosoroh justru tampil sebagai sosok yang berdaya dan teguh dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk dalam memperjuangkan hak dan harga dirinya.
Di era kolonial, perempuan pribumi memiliki posisi yang sangat terbatas. Mereka sering dianggap sebagai kelas bawah dan jarang mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang layak.
Padahal, pendidikan merupakan hal yang penting bagi masyarakat Indonesia. Hal tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi: "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.
Posisi perempuan dalam hierarki sosial kolonial sangat lemah, terutama bagi mereka yang dianggap sebagai "Nyai" atau perempuan simpanan orang Belanda.
Dalam masyarakat pada masa itu, menjadi seorang Nyai seringkali diartikan sebagai perempuan yang berada di posisi terpinggirkan dan terhina.
Namun, Nyai Ontosoroh, tokoh yang menjadi ibu tiri bagi protagonis utama, Minke, adalah pengecualian.
Meskipun statusnya sebagai Nyai membuatnya rentan terhadap penilaian buruk dari masyarakat, ia menolak untuk tunduk pada persepsi negatif ini.
Meskipun tidak memperoleh pendidikan formal, Nyai Ontosoroh berhasil menjadi sosok yang sangat terdidik.
Ia banyak belajar dari pengalaman hidup bersama Herman Mellema, seorang pria Belanda yang menjadikannya Nyai, serta dari kegemarannya membaca.
Melalui pendidikan mandiri ini, Nyai Ontosoroh mengembangkan wawasan yang luas, khususnya dalam bidang ekonomi dan manajemen bisnis, yang membantunya memimpin perusahaan dengan percaya diri.
Keberanian Nyai Ontosoroh untuk memimpin perusahaan Herman Mellema dengan penuh percaya diri dan kemahiran adalah pencapaian luar biasa, terutama mengingat posisi perempuan pribumi pada masa itu.
Kesadaran diri yang dimilikinya menjadi kekuatan utama yang mendasari segala tindakannya, menjadikannya sosok yang tidak mudah tergoyahkan meski dihadapkan pada banyak tantangan.
Ia tahu bahwa statusnya sebagai Nyai membawa stigma, namun ia tidak pernah membiarkan pandangan negatif tersebut menjatuhkan harga dirinya.
Sebaliknya, ia memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mengembangkan diri dan memperkuat posisinya.
Nyai Ontosoroh menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya hak istimewa bagi kaum pria atau kaum kolonial, tetapi hak bagi siapa saja yang berani mencarinya.
Perjuangan Melawan Sistem Patriarki dan Kolonial
Selain menghadapi diskriminasi sebagai perempuan, Nyai Ontosoroh juga harus menghadapi ketidakadilan sebagai bagian dari masyarakat kolonial yang tertindas.
Sistem kolonial tidak hanya menindas pribumi tetapi juga mengatur perempuan dalam posisi subordinat.
Namun, Nyai tidak tinggal diam. Dia menjadi simbol perlawanan terhadap sistem yang mengekang, baik patriarki maupun kolonialisme.
Dalam salah satu adegan yang paling mengharukan di novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Nyai Ontosoroh berjuang mati-matian untuk mempertahankan hak asuh atas putrinya, Annelies, yang diancam akan diambil paksa oleh pemerintah kolonial Belanda.
Dengan segala keteguhan hati, ia melawan di pengadilan, memperjuangkan hak sebagai seorang ibu meski secara hukum ia dianggap tidak memiliki kekuatan.
Baginya, mempertahankan hak asuh atas anaknya adalah bagian dari mempertahankan harga diri dan kemanusiaannya.
Keberanian Nyai Ontosoroh melawan sistem hukum yang timpang dan tidak adil ini bukan hanya memperlihatkan kekuatannya sebagai individu, tetapi juga menggambarkan keteguhan seorang ibu yang siap mengorbankan segalanya demi anaknya.
Ia menentang dominasi kolonial dengan keberanian luar biasa, menunjukkan bahwa perempuan pribumi juga memiliki suara dan hak untuk memperjuangkan martabatnya.
Simbol Perlawanan terhadap Stigma Sosial
Sebagai seorang Nyai, tak jarang Ontosoroh mendapat cibiran dan diskriminasi dari masyarakat. Ia dipandang rendah oleh lingkungan sosialnya.
Namun, alih-alih membiarkan stigma ini menghancurkan hidupnya, Nyai Ontosoroh justru menjadikan status tersebut sebagai alat untuk memperjuangkan martabatnya.
Ia menunjukkan bahwa seorang perempuan tidak harus tunduk pada stigma yang diberikan kepadanya.
Tokoh Nyai Ontosoroh mengajarkan kepada pembaca bahwa status sosial yang dilekatkan pada seseorang tidak seharusnya menghalangi upaya untuk mencapai keberhasilan dan kemuliaan diri. Ia adalah bukti nyata bahwa perjuangan untuk martabat dan harga diri adalah hak setiap manusia, terlepas dari status atau gelar yang disematkan oleh masyarakat.
Di balik semua perjuangannya, Nyai Ontosoroh membawa pesan yang kuat bagi pembaca, khususnya perempuan Indonesia. Ia mengajarkan bahwa keberanian, keteguhan, dan pendidikan adalah kunci untuk memperjuangkan hak dan kebebasan.
Dengan terbitnya novel ini, Pramoedya ingin masyarakat Indonesia membangun masyarakat yang lebih adil dan setara serta memahami bahwa perjuangan untuk kebebasan dan hak asasi manusia adalah tugas yang akan terus berulang di kemudian hari.
Penulis: Vera Shabrina