PARBOABOA - Ia tiba-tiba menyesali keputusannya mengabaikan telepon yang masuk dari seorang gadis. Soalnya? Akibatnya, fatal! Remaja itu kemudian memutuskan bunuh diri dengan cara melompat dari atas gedung tinggi.
Remaja ini korban bullying atau perundungan. Video pesta miras yang berujung pada adegan syur-nya telah disebarkan kawan sekolahnya di media sosial. Malu, tertekan, dan merasa hidup tak ada artinya, dia pun lalu mengakhiri hidup.
“Seandainya tadi aku memilih opsi ‘angkat telepon’ dan bercakap dengan dia pastilah gadis itu masih hidup. Dia bisa curhat ke aku dan sebisanya aku akan cegah niatnya,” kata seorang remaja Gen Z yang ikut galau saat menceritakan akhir dari gim Life is Strange episode dua dari lima episode yang sedang ia mainkan.
Yup. Itu adalah cuplikan adegan dalam sebuah gim petualangan berbasis pilihan dan konsekuensi. Pemain akan diberi opsi memilih misalnya mengabaikan atau mengangkat telepon dari seseorang yang membutuhkan pertolongan. Pilihan itu akan menentukan konsekuensi dan jalannya cerita. Keputusannya bisa mempengaruhi kehidupan di masa lalu, masa kini, dan yang akan datang. Sungguh gim interaktif yang menarik. Begitupun, perasaan bersalah remaja itu sungguh serius karena ia telah memilih opsi yang justru mengakibatkan kematian salah satu tokoh di gim itu.
Perundungan adalah sebuah perilaku toksik atau baracun yang pelakunya memang bertujuan hendak membuat korban sakit hati baik fisik maupun kata-kata. Para perundung tidak punya empati pada korban. Relasi kuasa yang diterapkan. Artinya, pelaku merasa dirinya lebih digdaya.
Nasib tragis pernah menimpa seorang siswa SMA di sebuah kota di Pulau Sumatra. Kerap diejek teman-teman karena memakai henpon jelek, siswa ini kemudian nekad berhutang demi dapat membeli gawai baru yang lebih keren dan canggih. Masalahnya ia kemudian tak sanggup membayar hutangnya sehingga dikejar-kejar penagih. Tak sanggup menghadapi lilitan hutang, dia pun memutuskan bunuh diri dengan cara gantung diri persis di depan kamar orang tuanya. Dengan sedih, psikolog pendamping korban berbagi kisah ini kepada Parboaboa.
Akhir-akhir ini aksi perundungan yang terjadi di sekolah-sekolah (dan juga kampus-kampus) kian mencemaskan saja. Intensitas kasusnya terindikasi meningkat. Gen Z kian dibayang-bayanginya.
Seto Mulyadi, Ketua Umum Lembaga Pendidikan Anak Indonesia (LPAI), menyatakan bahwa sesuai dengan disertasi mahasiswa bimbingan S-3-nya yang meneliti di suatu wilayah, di lebih dari 60 persen sekolah terjadi perundungan
Para perundung umumnya memiliki ciri antara lain berasal dari keluarga dengan status sosial lebih tinggi atau anak pejabat, cenderung arogan, berbadan besar dan kuat, populer di kalangan teman-teman, berstatus senior, dan memang dasarnya anak-anak nakal dan bandel.
Kasus Vina
Salah satu alasan penting sutradara Anggy Umbara mau menggarap film Vina: Sebelum 7 Hari karena ia prihatin dengan nasib gadis berusia 16 tahun yang dibully lalu dibunuh sejumlah anggota geng motor pada 2016.
“Kami membuat film ini karena ada kekerasan seksual, ada bullying. Karena ibu Vina kan Asisten Rumah Tangga bekerja di Malaysia,” kata pria bertubuh tinggi besar kepada Parboaboa beberapa waktu lalu. Dia ingin film ini menjadi pembelajaran agar kejadian serupa tidak terulang.
Vina adalah korban perundungan. Untuk itu ia harus berpindah-pindah sekolah gara-gara kerap di-bully. Dia cantik dan banyak orang cemburu. Seorang siswi di sekolah yang merasa tersaingi karena pacarnya lebih tertarik pada Vina melakukan perundungan dengan cara melumuri rambut Vina dengan permen karet. Vina melawan.
“Ada satu cerita detil yang tidak dimasukkan dalam film. Saat dia di-bully, rambut Vina dikasih permen karet. Sebetulnya si pelaku sampai datang ke rumah Vina memberi uang sambil memohon, ‘tolong ya jangan dipolisikan,’ karena Vina tadinya udah mau lapor polisi,” imbuh Anggy Umbara.
Vina menjadi contoh korban perundungan yang berani melawan meski untuk itu ia harus membayarnya dengan nyawa. Dia memang kelewat berani. Dalam sebuah scene di film besutan sutradara yang juga dikenal sebagai D'Jackal, ada adegan bagaimana Vina melawan bahkan sampai meludahi teman sekolah prianya yang memaksa untuk menjadikannya pacar.
Sang perundung dalam film itu digambarkan sebagai anak yang menyebalkan, agresif, congkak, sok jagoan, popular di kalangan teman-teman, berkedudukan penting, dan memiliki pengaruh terhadap teman-temannya. Dia juga anak petinggi lokal. Begitulah umumnya karakteristik para pem-bully.
Mantra
Psikolog Lina Madila Amir memiliki mantra yang ia terus tanamkan pada anak-anaknya bahkan kepada anak bungsunya yang baru berusia 4 tahun. Mantra ini adalah perisai saat menghadapi pem-bully di sekolah. Kalimat-kalimat seperti: “kamu gangguin aku, nggak mempan karena kata ibuku sakit hatiku mahal, maafku banyak.’ Atau, ‘kamu enggak suka aku, gimana aku bisa paksain’; dan ‘aku enggak ada masalah sama kamu, tapi kamu yang ada masalah ke aku.’ Ternyata itu, menurut dia, cukup efektif ‘melawan’ pem-bully.
“Jadi, saya ajarin kalimat-kalimat begitu yang sebenarnya dia belum ngerti [maksudnya]. Kebanyakan sih anak-anak berhasil menghadapi mereka yang suka mem-bully-nya,” kata ibu beranak empat.
Siapa pun sesungguhnya bisa menjadi pem-bully.
Seorang anak SD yang lebih senior misalnya secara psikologis akan merasa memiliki dominasi yang besar terhadap adik-adik kelasnya. Sehingga, jika mau, ia dapat leluasa merundung dan memalak siswa kelas yang lebih rendah.
“Dek, bagi uang dong. Dijawab: ‘berapa kak?’ Rp 5000 yang ada. “Ini Kak.”
Itu kejadian sungguhan. Penggalan percakapan kakak dan adik kelas ini merupakan kisah seorang siswa yang kini sudah SMA. Dia bukan tipe siswa yang agresif, nakal, impulsif, sok jagoan, popular banget. Justru dia berpembawaan lembut. “Waktu itu hanya iseng sih…tapi aku lakuin beberapa kali karena si adek kasih uang terus,” katanya sambil tertawa ringan saat mengenang kisah itu.
Motivasi pelaku melakukan bullying bisa bermacam-macam: karena iseng atau yang lebih serius lagi karena dipicu dendam pribadi yang dapat berakibat fatal seperti pada kasus Vina Cirebon.
Perundung dapat leluasa melaksanakan aksinya di sekolah karena memang hal itu dimungkinkan. Ada kesempatan dan mungkin juga pembiaran pihak sekolah sehingga pola perilaku toksik itu pun berbiak.
Bagi korban, aksi ini akan meninggalkan luka batin dan dendam.
Lebih sedih karena umumnya mereka yang jadi korban berasal dari keluarga berpenghasilan rendah, memiliki penampilan atau ukuran badan berbeda dari yang lain, penyandang disabilitas, anak migran, atau pengungsi. Meski bukan jaminan perundungan tidak terjadi di sekolah-sekolah elit yang latar belakang ekonomi keluarganya rata-rata mapan dan sederajat.
Awal tahun ini ada kejadian perundungan ekstrim terhadap seorang siswa SMA di Binus School Serpong. Korban sempat dilarikan ke rumah sakit karena luka cukup serius. Akibat peristiwa itu sejumlah orang tua siswa di sekolah elit itu shock bahkan sempat berpikir untuk memindahkan anak-anak mereka ke sekolah lain.
Korban menerima sejumlah perlakuan tidak menyenangkan dari para senior mulai dari disuruh membelikan makan hingga dipaksa mau mendapat kekerasan fisik. Menurut informasi, korban diikat di tiang dan dipukuli menggunakan balok kayu. Beberapa siswa lainnya diduga ikut menertawakan dan merekam aksi tersebut.
"Para pelaku secara bergantian melakukan kekerasan terhadap laki-laki 17 tahun itu dengan dalih 'tradisi' tidak tertulis sebagai tahapan untuk bergabung dalam kelompok atau komunitas," katanya, seperti dilaporkan Detik.com.
Sungguh memprihatinkan. Aksi ini terjadi di lingkungan sekolah yang seharusnya ramah terhadap anak-anak dan bebas bullying.
Pernah juga ada kejadian di 2022, seorang siswa SMA di Brebes, Jawa Tengah, yang ingin bunuh diri saking tak tahan dirundung teman-temannya. Dia nekat melompat ke dalam sumur. Untungnya, nyawa pelajar kelas XI itu dapat tertolong karena sang ibu memergoki dan kemudian berteriak minta tolong ke warga sekitar.
Menurut cerita ibunya, anaknya sempat takut ke sekolah. ”Sebelumnya sempat bilang minta namanya diganti. Malu karena di-bully.”
Bullying di Pesantren
Hingga kini belum ada data akurat jumlah kasus perundungan di lingkungan pesantren yang lebih tertutup dibanding sekolah-sekolah umum. Seorang psikolog yang sudah lama malang melintang mendampingi korban perudungan santri di pesantren mengatakan jumlahnya lebih banyak dari kasus-kasus yang dilaporkan.
“Korban biasanya menjadi pemarah, malas ke sekolah, bahkan ada yang sampai ngompol terus terusan, atau mengigau. Yang parah, beberapa santri bahkan menyilet-nyilet bagian tubuhnya sendiri,” imbuhnya.
Pada 23 Februari 2024, dunia pendidikan dihebohkan dengan tewasnya seorang santri dari Pondok Pesantren Al Hanifiyah di Kediri, Jawa Timur. Awalnya, korban diduga meninggal akibat terpeleset di kamar mandi.
Santri bernama Bintang Balqis Maulana (14) ternyata dianiaya oleh 4 orang seniornya. Yang bersangkutan sempat menghubungi ibunya untuk segera menjemputnya. Sayang, nyawanya terlambat untuk diselamatkan.
Pernah juga terjadi perundungan ekstrim di Pondok Pesantren Husnul Khotmah, Kuningan Jawa Barat pada akhir tahun lalu. Korbannya santri berusia 18 tahun yang meninggal dunia karena luka lebam dan organ yang cukup parah.
Peristiwa pengeroyokan santri juga pernah terjadi di Pondok Pesantren Al Mabhfur Sekapuk, Gresik Jawa Timur pada Agustus tahun lalu. Untung nyawanya sempat terselamatkan. Begitupun, korban harus dibawa ke rumah sakit karena mengalami luka cukup parah. Pengeroyokan dipicu oleh pertengkaran antara korban dan santri lainnya saat sedang bermain sepak bola pada jam istirahat.
Sejumlah orang tua tentu berharap menitipkan anak di pesantren membuat mereka tenang karena jaminan pendidikan dan agama yang lebih baik.
“Saya mengirim anak-anak ke pesantren karena kami kurang mampu membimbing mereka di rumah. Takut terpengaruh pergaulan yang tidak baik,” kata Sudiro, driver taksi online yang kami tumpangi.
Pemikiran itu sah saja karena pesantren seperti halnya boarding school umumnya memfasilitasi ketersediaan seluruh kebutuhan pendidikan dan agama. Termasuk, tentunya pengawasan ketat. Nyatanya, menurut seorang sumber yang banyak menangani sejumlah kasus perundungan, pengelola pesantren tak jarang merasa kewalahan mengawasi santrinya satu demi satu karena melebihi kapasitas.
“Ya gimana, daya tampung 200 tapi mereka menerima 400 [santri]. Ya… kuranglah monitoringnya,” kata ibu yang mengaku bukanlah seorang ibu yang merasa sreg mengirim anak ke pesantren.
Psikolog Lina Madila Amir yang thesisnya tentang bullying mengatakan indikator anak-anak itu korban perundungan nampak dari perubahan perilaku, dia menjadi pemarah, tiba-tiba malas ke sekolah, bahkan ada siswa yang sampai ngompol terus-terusan, atau mengigau.
“Nah, yang parah, beberapa yang boarding school itu melakukan selfharming dengan cara menyilet-nyilet bagian tubuhnya.” Entah bagaimana benda-benda tajam itu bisa luas beredar di lingkungan pesantren. Kasus yang paling sering dijumpai adalah menyayat tubuh dengan menggunakan jarum pentul atau peniti yang biasa digunakan sebagai pengait hijab atau potongan kaca.
Di Indonesia, kasus perundungan sudah bertahun-tahun terjadi tanpa ada solusi yang benar-benar efektif untuk menghentikannya. Sejauh ini pemerintah lewat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi terus menggaungkan tiga besar dosa pendidikan, yakni perundungan atau bullying, kekerasan seksual, dan intoleransi.
Perundungan di lingkungan sekolah seharusnya tidak terjadi lagi. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi institusi pendidikan kita. Bagimana menjadikan sekolah yang ramah anak dan bebas bullying.
Sosialisasi di sekolah-sekolah dan kampus-kampus terkait program pelatihan anti-bullying menjadi mendesak untuk dilaksanakan. Lembaga pendidikan harus memiliki program khusus mencegah kasus perundungan. Menanamkan ke siswa dan mahasiswa bahwa bullying sebagai tindakan yang tidak keren sama sekali. Itu dilakukan sembari terus menumbuhkan kesadaran di kalangan Generasi Z agar mereka lebih bisa saling menerima perbedaan satu sama lain, saling mendukung, dan tidak saling membenci.
Bersambung...
Penulis: Rin Hindryati
Editor: P. Hasudungan Sirait
Editor: Hasudungan Sirait