PARBOABOA, Jakarta - Di tengah maraknya pernikahan dini di Indonesia, Lucia Priandarini dalam novelnya yang berjudul Dua Garis Biru menyajikan kisah cinta yang menghadirkan realitas dan konsekuensi dari pernikahan dini.
Pernikahan dini adalah pernikahan yang terjadi pada individu dengan usia dibawah 19 tahun. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Bab II Pasal 7 Ayat 1 tentang Perkawinan, yang berbunyi;
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita berusia 16”.
Banyaknya kasus pernikahan dini di Indonesia, membuat Lucia Priandarini tertarik untuk menulis novel dengan judul Dua Garis Biru.
Novel ini pertama kali diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada Juli 2019 dan berfokus pada pengalaman dua remaja yang menghadapi konsekuensi dari hubungan mereka yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah.
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), pernikahan dini di Indonesia mengalami penurunan dari 8,06% pada 2022 menjadi 6,92% pada 2023.
Meskipun angkanya menurun, dampak pernikahan dini masih besar, termasuk putus sekolah, risiko stunting pada anak yang dilahirkan, serta peningkatan kemiskinan.
Dalam Dua Garis Biru, Lucia menggambarkan secara mendalam dinamika dan tantangan yang dihadapi remaja ketika mereka harus menghadapi peran yang lebih besar daripada usia mereka.
Melalui gaya bahasa yang realistis dan penuh empati, ia mengajak pembaca untuk merenungi arti kedewasaan dan pentingnya dukungan keluarga dalam menghadapi masa-masa sulit.
Dengan tokoh utama Bima dan Dara, Lucia mengeksplorasi dampak kehamilan di luar nikah, termasuk pernikahan dini yang penuh konflik dan tantangan emosional.
Setelah pernikahan dini, realitas kehidupan yang dihadapi Bima dan Dara jauh dari apa yang mereka bayangkan.
Ketegangan yang muncul dalam hubungan mereka, serta tanggung jawab sebagai orang tua di usia yang sangat muda, menjadi pusat konflik dalam novel ini.
Dua garis biru mencerminkan betapa sulitnya bagi pasangan remaja untuk menjalani pernikahan tanpa kesiapan emosional, mental, dan finansial yang memadai.
Keputusan tersebut tidak hanya mempengaruhi Bima dan Dara, tetapi juga keluarga mereka yang harus menghadapi tekanan sosial, stigma, serta pergolakan batin yang muncul akibat kabar yang mengejutkan ini.
Awal Pertemuan Bima dan Dara
Kisah cinta Bima dan Dara bermula di lingkungan sekolah. Pertemuan pertama mereka terjadi ketika mereka berada di kelas yang sama, di mana Bima merasa tertarik kepada Dara yang aktif dalam diskusi kelas.
Sikap percaya diri Dara membuat Bima terpesona, dan ia pun mulai mencari cara untuk mendekatinya.
Seiring berjalannya waktu, Bima berusaha mendekati Dara dengan berinteraksi melalui tugas-tugas sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler, seperti belajar kelompok dan acara sekolah.
Dalam momen-momen tersebut, mereka berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing.
Ketertarikan awal yang dirasakan Bima berkembang menjadi perasaan yang lebih dalam, dan ia pun menyadari bahwa Dara bukan hanya teman, tetapi seseorang yang sangat berarti baginya.
Dara merasakan hal yang sama. Meskipun ia mandiri dan ambisius, kehadiran Bima memberikan warna baru dalam hidupnya.
Bima yang tulus dan perhatian membuat Dara merasa diperhatikan dan dihargai.
Keberanian Bima untuk mengungkapkan perasaannya menjadi titik awal yang menguatkan hubungan mereka, dan mereka mulai menjalin hubungan yang lebih dekat, penuh dengan momen manis.
Namun, kebahagiaan ini tidak bertahan lama. Hubungan mereka menghadapi tantangan besar ketika mereka dihadapkan pada keputusan yang mengubah hidup mereka secara drastis.
Dalam novel ini, Lucia menyampaikan pesan tentang pentingnya memahami tanggung jawab dan dampak dari keputusan di usia muda, serta bagaimana dukungan keluarga sangat berperan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
Penulis: Vera Shabrina