PARBOABOA, Jakarta - Di pedalaman Papua Selatan, tepatnya di Boven Digoel, seorang pria bernama Hendrikus Woro dari suku Awyu, kokoh berjuang mempertahankan keberadaan hutan adat di wilayah itu.
Bagi Hendrikus dan sukunya, hutan ini lebih dari sekadar lahan, karena di dalamnya ada kehidupan dan warisan leluhur yang harus dijaga turun-temurun.
Namun, hutan adat tersebut sedang dalam ancaman oleh adanya rencana perusahaan kelapa sawit yang ingin membuka lahan baru.
Bersama Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, Hendrikus pernah membawa kasus ini ke Mahkamah Agung (MA), berharap hutan mereka bisa tetap dilindungi.
Sayangnya, putusan MA menolak permohonan masyarakat. Kabar ini menjadi pukulan berat bagi Hendrikus dan komunitasnya, mengingat upaya hukum yang mereka anggap sebagai jalan terakhir, kini tertutup.
"Saya kecewa dan sakit hati," kata Hendrikus belum lama ini melansir laman resmi Wahana Lingkunagan Hidup Indonesia atau WALHI.
Bagi dia, hutan dalah bagian dari identitasnya sebagai orang Awyu. Di situlah ia hidup dan bergantung.
“Saya merasa lelah dan sedih,” ujarnya lagi, menceritakan betapa sulitnya berjuang sendirian tanpa dukungan dari pemerintah daerah maupun pusat.
Hendrikus lantas bertanya-tanya, "Kepada siapa saya harus berharap dan berjalan ke mana lagi?"
Menurutnya, kehilangan hutan berarti kehilangan rumah dan sejarah sukunya.
Namun, meskipun terasa sulit, Hendrikus tetap teguh. Ia berkata, perjuangan untuk mempertahankan hutan adalah warisan yang harus ia teruskan agar alam tetap lestari untuk generasi berikutnya.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Papua memberi izin lingkungan seluas 36.094 hektare kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL), perusahaan sawit besar yang siap merambah hutan tersebut.
Tidak tinggal diam, Hendrikus mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, meminta agar izin yang diberikan kepada PT IAL dibatalkan. Namun, gugatannya ditolak.
Hendrikus kemudian mengajukan banding ke PTTUN Makassar, tetapi banding ini pun kandas. Demi memperjuangkan hutan adatnya, Hendrikus akhirnya menempuh kasasi ke MA. Ia berharap hukum tertinggi bisa memberikan keadilan yang selama ini seakan menjauh dari masyarakat adat.
Namun, pada 1 November 2024, dokumen putusan MA dengan Nomor 458 K/TUN/LH/2024 membawa kabar pahit. Permohonan Hendrikus ditolak oleh dua dari tiga hakim dalam sidang permusyawaratan pada 18 September lalu.
Meskipun demikian, satu hakim, Yodi Martono Wahyunadi, menyatakan pendapat berbeda. Hakim Yodi berpendapat bahwa alasan penolakan banding yang didasarkan pada batas waktu pengajuan gugatan 90 hari harus dipertimbangkan lebih teliti.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Peraturan MA Nomor 6 Tahun 2018, ia berpendapat bahwa perhitungan waktu gugatan seharusnya hanya mencakup hari kerja, termasuk memperhitungkan hari libur lokal di Papua.
Hakim Yodi juga menyoroti bahwa izin lingkungan PT IAL seharusnya dibatalkan karena tidak mematuhi prinsip perlindungan lingkungan sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Tim Advokasi dari Selamatkan Hutan Adat Papua, Tigor Hutapea mengatakan putusan ini tidak benar karena dua hakim menolak perkara tanpa mengulas substansi gugatan.
"Tetapi hakim Yodi menekankan bahwa izin itu tidak mempertimbangkan dampak terhadap masyarakat adat dan lingkungan mereka," katanya.
Anggota tim lain, Sekar Banjaran Aji menyebut ini sebagai "kabar duka kesekian" bagi masyarakat Awyu.
Ia menyampaikan, di saat dunia sedang berbicara soal penyelamatan keanekaragaman hayati di forum COP16 CBD di Kolombia, "kita justru mendapat kabar bahwa hutan Papua, salah satu wilayah dengan kekayaan hayati tinggi, kian terancam."
Selain kasus PT IAL, masyarakat adat Awyu juga sedang mengajukan kasasi terhadap dua perusahaan sawit lain, yaitu PT Megakarya Jaya Raya (MJR) dan PT Kartika Cipta Pratama (KCP), yang juga berencana membuka lahan di Boven Digoel.
Putusan MA atas kasus PT IAL ini menjadi penentu, apakah hutan hujan Papua yang tersisa akan tetap lestari atau berubah menjadi perkebunan.
Di tengah situasi ini, Emanuel Gobay, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, menekankan bahwa tanah Papua bukanlah “tanah kosong.”
Menurutnya, kepemilikan izin perusahaan tidak otomatis menghapus hak masyarakat adat atas tanah mereka. “Papua adalah tanah adat yang telah dijaga tanpa pamrih oleh masyarakatnya selama ratusan tahun,” tegasnya.
"Kami berharap publik tetap mendukung perjuangan ini, karena mempertahankan hutan bukan hanya soal hak adat, tetapi juga perjuangan melawan krisis iklim," lanjutnya.
Maikel, Direktur Eksekutif WALHI Papua, menambahkan bahwa hutan Papua adalah milik ratusan marga yang hidup di sana turun-temurun.
“Keputusan MA ini seakan memberi perusahaan kuasa palsu atas tanah adat. Kami ingin masyarakat luas tahu, suku Awyu dan masyarakat adat lain di Papua berhak penuh atas tanah mereka,” tutupnya.
Untuk diketahui, penelitian yang dilakukan oleh Dyah Wulan Sari dan tim dari Universitas Airlangga pada 2021 menunjukkan selain mengamcan hutan adat, perluasan lahan kelapa sawit juga memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, terutama terkait deforestasi.
Penelitian itu mencatat, kehilangan hutan hujan di Indonesia sejak 1990 hingga 2015 mencapai sekitar 25 persen, sebagian besar akibat ekspansi perkebunan sawit.
Deforestasi ini berimbas pada berkurangnya keanekaragaman hayati dan berkontribusi terhadap perubahan iklim. Bahkan beberapa spesies asli Asia, seperti orangutan, harimau Sumatera, gajah, dan beruang madu, mengalami tekanan populasi yang serius akibat hilangnya habitat.
Sementara itu, praktik pembukaan lahan dengan cara membakar hutan memperparah masalah dengan meningkatkan emisi gas rumah kaca, khususnya karbon dioksida.
Hal ini menjadikan Indonesia sebagai penyumbang gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia.
Pembakaran lahan, terutama lahan gambut, menciptakan kabut asap yang menyebar ke seluruh Asia Tenggara, mengancam kesehatan pernapasan masyarakat di wilayah tersebut.
Dyah juga menulis, meskipun area perkebunan kelapa sawit terus bertambah setiap tahun, produktivitas per hektar di Indonesia masih di bawah Malaysia.
Data menunjukkan rata-rata produktivitas di Indonesia hanya mencapai 17 ton per hektar, sedangkan Malaysia mampu menghasilkan 21 ton per hektar.
Dari hasil penelitian lapangan di Sumatera dan Kalimantan, perkebunan petani kecil di Indonesia menghasilkan sekitar 11 ton per hektar, sementara sektor swasta mampu mencapai 30 ton per hektar.