PARBOABOA,Jakarta - Kasus pemerkosaan di Indonesia terus menjadi permasalahan serius yang belum terselesaikan.
Salah satu yang paling menyoroti bidang hukum adalah kasus yang melibatkan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
Pengakuan Putri sebagai korban pemerkosaan oleh Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat menyita besar masyarakat, memicu perdebatan publik dan memperkeruh misteri pembunuhan Yosua.
Ferdy Sambo, mantan Kepala Divisi Propam Polri, menjadi tersangka utama dalam pembunuhan ini.
Pengakuan Putri Candrawathi seperti dalam Sajian Khusus Parboaboa yang bertajuk, “Putri Candrawathi (PC) Diperkosa Brigadir Yosua saat di Magelang”, Senin (14/10/2024 menguak lebih dari sekadar drama hukum; ia menyingkap kondisi laten soal pemerkosaan di Indonesia.
Pemerkosaan adalah bentuk kekerasan seksual yang memiliki dampak menghancurkan bagi korban, baik fisik maupun psikologis.
Trauma yang dialami korban tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga merambat ke keluarga, komunitas, hingga sistem hukum yang seharusnya melindungi mereka.
Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pada tahun 2023, tercatat lebih dari 8.000 laporan kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan.
Namun, angka ini hanya puncak gunung es. Banyak kasus tidak dilaporkan karena stigma yang melekat dan tekanan sosial yang dialami korban.
Meski sudah ada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada tahun 2022, rasa takut menjadi korban penghakiman publik membuat banyak orang enggan melapor.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) seharusnya menjadi langkah maju bagi perlindungan korban, namun pelaksanaannya di lapangan masih menemui banyak kendala.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jakarta melaporkan bahwa dari seluruh kasus kekerasan terhadap perempuan yang mereka tangani, sekitar 30% di antaranya adalah kasus pemerkosaan.
Ironisnya, mayoritas pelaku adalah orang-orang terdekat korban, seperti pasangan, keluarga, hingga teman dekat.
Ini semakin memperlihatkan kompleksitas persoalan kekerasan seksual di Indonesia, terutama dari segi hukum dan sosial.
Pemerkosaan dalam Pandangan Hukum
Dalam hukum Indonesia, pemerkosaan diatur melalui berbagai undang-undang. UU TPKS menjadi salah satu peraturan yang penting dalam mendefinisikan kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, dengan lebih jelas dan komprehensif.
Sebelum UU TPKS, definisi pemerkosaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sering dianggap sempit dan kurang mampu mencakup berbagai bentuk kekerasan seksual yang semakin kompleks di era modern.
UU TPKS membawa angin segar dengan mendefinisikan berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk situasi di mana korban tidak mampu memberikan persetujuan yang sah.
Ini menjadi salah satu poin penting dalam menyoroti kasus-kasus yang selama ini sulit dijerat dengan hukum, termasuk yang dihadapi oleh Putri Candrawathi.
UU TPKS mengklasifikasikan pemerkosaan ke dalam beberapa kategori yang mencerminkan keragaman situasi yang mungkin dihadapi korban.
Pemerkosaan konvensional adalah bentuk yang paling sering diakui, di mana kekerasan fisik dan ancaman menjadi elemen utama.
Korban dipaksa melalui ancaman senjata, intimidasi, atau kekerasan fisik hingga tidak mampu melawan.
Selain itu, UU TPKS juga memperkenalkan kategori pemerkosaan dalam pernikahan atau marital rape, yang sebelumnya sering tidak dianggap sebagai tindak pidana.
UU ini menegaskan bahwa hubungan seksual, baik di dalam maupun di luar pernikahan, harus dilandasi oleh persetujuan dari kedua belah pihak. Jika tidak ada persetujuan, tindakan tersebut bisa dianggap sebagai pemerkosaan.
Khusus untuk anak-anak, UU Perlindungan Anak dan UU TPKS menyatakan bahwa segala bentuk hubungan seksual dengan anak di bawah umur secara otomatis dikategorikan sebagai pemerkosaan.
Hal ini karena anak-anak dianggap tidak mampu memberikan persetujuan yang sah.
Hukuman untuk kasus ini lebih berat dan sering kali disertai dengan upaya rehabilitasi bagi korban yang mengalami trauma jangka panjang.
Ada juga kategori pemerkosaan terhadap orang yang tidak berdaya, seperti korban yang berada di bawah pengaruh alkohol, obat-obatan, atau kondisi lain yang membuat mereka tidak dapat memberikan persetujuan.
Kasus seperti ini sering terjadi di kalangan remaja atau dewasa muda, di mana penyalahgunaan zat seringkali menjadi pemicu.
Terakhir, ada juga pemerkosaan dalam situasi konflik, yang sering kali dianggap sebagai kejahatan perang.
Perempuan dan anak-anak sering menjadi korban kekerasan seksual yang terstruktur dalam konflik.
Meski hukum Indonesia belum memiliki regulasi khusus, Indonesia mendukung konvensi internasional yang menganggap pemerkosaan dalam perang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Meski UU TPKS telah memberikan landasan hukum yang lebih jelas, tantangan besar tetap ada dalam implementasinya.
Banyak kasus kekerasan seksual yang tidak ditangani dengan serius oleh aparat penegak hukum. Faktor seperti kurangnya bukti atau pandangan sosial yang masih menyalahkan korban sering kali menjadi kendala.
Stigma sosial terhadap korban kekerasan seksual menjadi salah satu hambatan utama dalam penegakan hukum yang adil.
Banyak korban yang enggan melaporkan kekerasan yang mereka alami karena takut akan penghakiman publik atau bahkan dipermalukan di depan umum.
UU TPKS berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan menawarkan perlindungan hukum bagi korban, termasuk perlindungan identitas, pendampingan psikologis, dan perlindungan selama proses pengadilan.
Kasus Putri Candrawathi menjadi contoh nyata bagaimana perlindungan hukum dan sosial bagi korban pemerkosaan harus diutamakan.
Meskipun masih ada kontroversi mengenai pengakuannya, kasus ini menyoroti pentingnya dukungan bagi korban agar mereka berani melaporkan kekerasan yang mereka alami, tanpa takut mendapatkan tekanan dari pelaku atau masyarakat.