PARBOABOA, Jakarta - Kawin kontrak yang selalu diklaim membawa keuntungan ekonomis, punya sisi gelap yang merendahkan martabat perempuan.
Di sana, tercipta sejumlah ketidakadilan gender yang melemahkan posisi wanita (istri). Penelitian Ayun Nawati (2019), memperlihatkan sejumlah fakta miris tersebut.
Ia menulis, ketidakadilan gender pertama yang dialami perempuan adalah menerima pelabelan negatif atau stereotip dari masyarakat dan lingkungan.
"Masyarakat memandang buruk perempuan yang menikah kontrak," tulis Ayun.
Selain itu, mereka mengalami beban ganda dalam hal pekerjaan.
Seorang responden dalam penelitian, sebut saja Linda, mengatakan walaupun di rumah ada pembantu, ia tetap bekerja sebagaimana istri di Indonesia pada umumnya.
Demikian pula dengan responden lain, Asri. Ia tetap menjalankan warungnya seperti biasa, dan menghendel semua urusan domestik meskipun itu bukan tugasnya.
Di tengah beban kerja yang relatif bertambah banyak dan panjang, tetap, "mereka harus mengabdi pada suami mereka."
Perempuan yang berstatus istri kontrak juga rentan mengalami kekerasan. Dalam penelitiannya, Ayun merinci beberapa jenis kekerasan yang dialami korban.
Pertama, kekerasan psikologis. Asri mengalaminya ketika pria hidung belang yang menjadi suaminya selalu berteriak-teriak, menyumpah, merendahkan serta memata-matai tindakannya sehingga membuat rasa takut.
Bahkan tindakan itu menyasar orang tua Asri dan orang-orang terdekatnya. Yang lebih menyakitkan, sang suami, dengan berbagai alasan tidak menghiraukan saat ia sakit.
Kondisi ini membuat Asri merasa seperti dimanfaatkan, lalu memutus mengakhiri hubungannya meski masa kontrak belum selesai.
Kedua, kekerasan finansial. Kekerasan finansial dialami Asri ketika hak-hak keuangannya ditahan serta tidak dipenuhi oleh suaminya.
Salah satu yang membuat ia merasa kecewa adalah janji sang suami untuk memberinya uang sebesar Rp 8.000.000,- per bulan, namun jumlah tersebut tidak diberikan secara utuh seperti yang dijanjikan.
Sang suami juga kerap mengambil alih kontrol keuangan dan aset yang ia miliki dan berencana menguasai harta dan usaha miliknya, termasuk rumah dan bisnis yang ia jalankan.
Ketiga, kekerasan seksual. Seorang responden, Surahmi dijanjikan menikah oleh pria asing dengan alasan menghindari zina.
Bahkan, kepadanya, pelaku mengatakan, ingin menyalurkan hasrat biologisnya sesuai ajaran agama. Ada juga janji untuk memberikan uang sebesar tiga juta rupiah per bulan.
"Saya mau menikah karena dia orangnya tidak ingin berzina, agamanya bagus seperti santri," tulis Ayun menirukan perkataan Surahmi.
Tanpa disadari, Surahmi telah mengalami pelecehan seksual dalam bentuk terselubung. pelaku menggunakan janji-janji finansial sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan seksual.
Ini sejalan dengan pandangan bahwa kekerasan seksual tidak selalu berbentuk fisik, tetapi juga bisa dalam bentuk transaksi atau imbalan seksual, Fakih (2008).
Dalam kasus ini, uang tiga juta rupiah per bulan yang diterima oleh Surahmi sebenarnya adalah bentuk imbalan seksual, meskipun ia tidak sepenuhnya menyadari hal tersebut.
Dalam kasus lain, Ayun menyebut adanya "kekerasan dalam bentuk pelacuran."
Pelacuran adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu sistem dan mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan itu sendiri.
Responden, sebut saja Lusi, mengalami hal ini ketika beberapa kali ditawari oleh temannya untuk melakukan kawin kontrak.
Kawin kontrak ini sebenarnya hanya sebagai dalih. Yang terjadi sesungguhnya adalah aktivitas pelacuran. Uang atau imbalan dari lelaki yang telah ditemaninya dibagi pula dengan teman yang menghubungkannya dengan klien.
Celakanya, Lusi tidak merasa bahwa dia sedang dimanfaatkan. Ia selalu dengan senang hati ketika ditawari kawin kontrak karena merasakan keuntungannya.
Padahal, sebenarnya ia telah dirugikan dan mengalami eksploitasi seksual.
Masih banyak bentuk kekerasan lain yang dialami perempuan korban kawin kontrak. Fakih (1196) menulis, kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan.
Dimana suami memiliki posisi tertinggi dalam rumah tangga, sementara istri dianggap sebagai pendamping yang harus memenuhi tuntutan suami dan melayani sepenuhnya.
Lalu dalam kasus kawin kontrak, seperti pernikahan mut'ah, laki-laki juga sering kali lebih diuntungkan, sementara perempuan justru tertekan.
Laki-laki cenderung mendominasi dan mengajukan syarat-syarat pernikahan, merasa berhak karena posisinya sebagai kepala keluarga. Kondisi ini semakin diperparah oleh fakta bahwa laki-laki, terutama warga negara asing, seringkali memanfaatkan kelemahan ekonomi perempuan lokal.
Dengan menawarkan janji-janji dan imbalan materi, mereka dapat dengan mudah mengajak perempuan untuk menerima pernikahan kontrak.
Namun, janji-janji tersebut sering kali tidak ditepati. Suami dalam pernikahan kontrak sering tidak memberikan nafkah atau memperlakukan istri kontraknya dengan buruk.
Ini menciptakan ketidakadilan gender, di mana perempuan menjadi korban subordinasi dan dianggap sebagai objek. Ketimpangan ini terjadi karena posisi perempuan dalam masyarakat masih lemah, belum sepenuhnya setara dengan laki-laki.
Akibatnya, ketidakadilan gender, termasuk dalam pernikahan kontrak, terus berlangsung di Indonesia.
Editor: Gregorius Agung