PARBOABOA, Jakarta - PT Bank DBS Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 akan mencapai sekitar 5,2 persen secara tahunan (year-on-year).
Menurut Presiden Direktur DBS, Lim Chu Chong, proyeksi ini didorong oleh peningkatan investasi di sektor infrastruktur, pertumbuhan output industri, serta dinamika sektor jasa yang semakin kuat.
“Kami terus mendukung visi ‘Indonesia Emas 2045’ dengan tujuan menjadikan Indonesia negara berpendapatan tinggi, mendukung pembangunan yang berkelanjutan, serta menciptakan kesejahteraan regional,” ujar Lim pertengahan Mei lalu.
Selain itu, situasi politik yang stabil pasca satu putaran pemilihan presiden telah membawa angin segar bagi para investor untuk kembali menanamkan modal di Indonesia.
Lim menambahkan, pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 5 persen selama tujuh tahun berturut-turut adalah salah satu indikator positif.
Ia juga memuji upaya pemerintah dalam menjaga inflasi tetap rendah, di mana selama lima tahun terakhir, rata-rata inflasi di Indonesia turun menjadi 5,4%.
Namun, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, memberikan pandangan agar pemerintahan baru dapat merancang kebijakan yang matang.
"Prabowo akan melanjutkan kebijakan hilirisasi. Ia juga memiliki perhatian khusus terhadap sektor pertanian dan ketahanan pangan," jelas Burhanuddin.
Sebagai Presiden terpilih, Prabowo memiliki sejumlah program prioritas yang sudah ia sampaikan saat kampanye.
Salah satunya adalah program penyediaan makanan dan susu gratis, yang diperkirakan membutuhkan anggaran sekitar Rp 450 triliun per tahun, setara dengan 13 persen dari total belanja pemerintah.
Selain itu, proyek Ibu Kota Negara (IKN), peningkatan anggaran pertahanan, serta Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 juga menjadi tantangan ke depan.
RKP tersebut menargetkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) di kisaran 39,77 hingga 40,14 persen, lebih tinggi dibandingkan target rasio utang tahun ini yang sebesar 38,26 persen.
Terpisah, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), mengungkapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai angka 5 persen hanyalah angka di atas kertas.
Menurutnya, pertumbuhan tersebut mirip dengan perusahaan yang memiliki neraca keuangan yang tampak bagus, namun arus kasnya bermasalah dan penuh dengan utang.
"Pertumbuhan 5 persen itu angka yang ditulis oleh BPS berdasarkan dokumen. Mirip dengan perusahaan yang neracanya terlihat baik, tetapi cash flow-nya rusak. Neraca boleh bagus, tapi isinya utang," ujar JK dikutip dari saluran Youtube Gita Wirjawan, Jumat (11/10/2024).
Menurut JK, target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang dicanangkan Presiden terpilih Prabowo Subianto hanya sebatas harapan.
Pasalnya, pertumbuhan 5 persen yang ada saat ini pun belum benar-benar mencerminkan pertumbuhan yang sesungguhnya.
"Bahkan angka 5 persen itu masih perlu kita uraikan lebih dalam," tambahnya.
JK juga menilai bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut tampak tidak riil, terutama dilihat dari sektor ekspor.
Meskipun BPS mencatat adanya surplus, JK menyoroti bahwa devisa hasil ekspor tersebut tidak kembali ke dalam negeri, melainkan mengalir ke luar, terutama ke negara-negara seperti China dan Singapura, khususnya dari ekspor Sumber Daya Alam (SDA).
"Sebagai contoh, meskipun ekspor kita tercatat tinggi di BPS, jika ditelusuri lebih lanjut, ke mana devisanya? Sebagian besar mengalir ke China dan Singapura," ujarnya.
Untuk mengatasi masalah ini, JK mengusulkan agar Indonesia menerapkan sistem ekspor seperti yang dilakukan Malaysia dan Thailand, di mana hasil ekspor dibayarkan dalam mata uang lokal seperti ringgit atau baht.
Namun, hingga kini, usulan tersebut belum diterapkan, sehingga devisa hasil ekspor terus mengalir ke luar negeri.
"Jadi, untuk apa ekspor nikel dalam jumlah besar jika devisanya terus mengalir ke China? Atau ekspor batu bara jika semua devisanya pergi ke Singapura? Itu tidak ada manfaatnya," tutupnya.