parboaboa

MA Malaysia Bebaskan Majikan dari Dakwaan terkait Kematian TKI Adelina Lisao

Dion | Internasional | 24-06-2022

Putusan ini membuat Ambika bebas murni dan tidak bisa didakwa pidana atas kematian Adelina. (dok Grid.id)

PARBOABOA, Pematangsiantar - Ambika MA Shan dibebaskan dari dakwaan oleh Mahkamah Persekutuan Malaysia pada Kamis terkait kematian Adelina Liaso, asisten rumah tangga asal Nusa Tenggara Timur. 

Dilansir BBC, Jumat (24/6/2022), Adelina meninggal dunia pada Februari 2018 lalu akibat luka-luka yang dideritanya atas dugaan disiksa sang majikan. 

Majelis hakim menolak permohonan jaksa penuntut umum untuk menggugurkan putusan Mahkamah Tinggi. 

Dalam putusannya, Hakim Vernon Ong Lam Kiat mengatakan Pengadilan Tinggi telah mengeluarkan putusan dengan benar dalam membebaskan Ambika. 

Vernon mengatakan jaksa penuntut umum harus memberikan alasan mengapa mengajukan permohonan Discharge Not Amounting To Acquittal (DNAA). 

DNAA berarti terdakwa dibebaskan dari dakwaan, namun dapat dituntut lagi di kemudian hari. Menurut Vernon, DNAA hanya bisa dikeluarkan jika ada alasan valid yang diberikan pihak jaksa.

"Malah berdasarkan catatan banding, tiada alasan diberikan pihak pendakwaan (di Pengadilan Tinggi)," kata Vernon dilansir kantor berita Bernama.

Putusan Mahkamah Persekutuan ini membuat Ambika bebas murni dan tidak bisa didakwa pidana atas kematian Adelina.

Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, yang hadir dalam sidang putusan itu mengaku kecewa karena "tidak mencerminkan rasa keadilan".

"Bagaimanapun juga, kita tahu Adelina meninggal di rumah majikan dengan kondisi luka di sekujur tubuhnya karena infeksi yang tidak diobati. Dia tidak pernah dibawa ke dokter. Putusan itu menunjukkan bahwa tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas kematian Adelina," kata Hermono. 

"Sulit bagi kita untuk menerima bahwa ada seseorang yang meninggal sedemikian tragis di rumah majikannya, tapi tidak ada yang bertanggung jawab," sambungnya lagi. 

Soal jaksa yang meminta DNAA terhadap majikan Adelina juga menjadi faktor yang mengecewakan bagi Hermono.

"Jaksa tidak memberikan argumentasi yang jelas kenapa mengajukan DNAA, hanya mengatakan itu petunjuk atasannya. Bagaimana kok kasus sedemikian serius, tapi penanganannya tidak serius?" serunya. 

"Putusan ini mengirimkan pesan yang kurang baik bahwa hukum tidak memberikan perlindungan yang maksimal kepada korban-korban penyiksaan. Kita tahu banyak sekali pekerja kita yang mengalami penyiksaan," tutur Hermono.

Saat ini Hermono masih mempelajari kemungkinan pengajuan kasus perdata untuk kompensasi kepada keluarga Adelina. 

Keadilan yang mengecewakan

Putusan Mahkamah Persekutuan itu membuat  sebagian publik Negeri Jiran kecewa. Mantan hakim Malaysia, Datuk Nor Faridah, menilai bebasnya majikan Adelina menunjukkan "gugurnya keadilan".

"Asisten rumah tangga itu telah tewas! Ini bukan kasus penganiayaan yang menyebabkan cedera. Dia dibunuh. Siapapun yang bertanggung jawab harus dihukum!" tegasnya. 

Anggota parlemen Malaysia dari Bukit Mertajam, Steven Sim, yang melihat sendiri kondisi Adelina pada hari terakhirnya, mengaku sedih dengan putusan pengadilan.

"Saya sangat sedih dengan putusan ini. Ini benar-benar hari yang kelam bagi kami, ketika seorang warga asing muda yang menjadi korban penyelundupan manusia ke negara kami dan kemudian didapati telah disiksa dan meninggal, tapi tidak ada yang dihukum atas kejahatan apapun," ujarnya. 

Sementara lembaga Migrant Care menilai putusan mahkamah itu disebabkan rendahnya kemampuan investigasi kriminal dan penuntutan.

"Kami menyesali hasil kasus ini. Penegakan hukum Malaysia terhadap kebijakan buruk sistem online asisten rumah tangga telah menciptakan ribuan korban yang diselundupkan menjadi dikorbankan," kata Alex Ong dari Migrant Care. 

Adelina merupakan warga Abi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, kelahiran 1998.

Pada Juni 2013 ia berangkat ke Malaysia dengan visa turis melalui sponsor perorangan. Di Indonesia, umurnya dipalsukan menjadi 21 tahun dan mengaku berasal dari Medan, Sumatera Utara.

Dalam catatan Kementerian Luar Negeri, setiba di Kuala Lumpur, Malaysia, majikan Adelina mengonversi visa kunjungan singkatnya menjadi izin kerja sebagai ART selama setahun.

Setelah izin habis, Adelina pulang ke Indonesia. Tapi, tiga bulan kemudian, Adelina kembali ke Malaysia menggunakan visa turis, dan bekerja untuk Jayavartiny Rajamanickam (anak dari Ambika) di Penang.

Di situ, Adelina bekerja sebagai ART secara ilegal, karena sang majikan tidak mengurus izin kerja, asuransi, dan kontrak kerja.

Setelah empat tahun, pada 10 Februari 2018, Kepolisian Seberang Perai Tengah menyelamatkan Adelina dari rumah Ambika dan membawanya ke rumah sakit. 

Polisi menerima informasi dari para tetangga yang mendengarnya mengerang kesakitan. Saat dievakuasi, petugas menyebut jika wanita malang itu kurang gizi serta menderita luka parah dengan tangan dan kaki penuh luka bakar dan wajah bengkak. 

Ia juga terlihat sangat ketakutan dan hampir tidak bisa berjalan. Menurut keterangan tetangga, Adelina dipaksa tidur di teras rumah bersama anjing peliharaan majikan. 

Dan pada 11 Februari Adelina dinyatakan meninggal dunia. Ambika diduga kuat melakukan penganiayaan. 

Hasil autopsi rumah sakit menunjukkan penyebab kematiannya adalah karena kegagalan multiorgan sekunder karena anemia yang muncul akibat pengabaian. 

Editor : -

Tag : #malaysia    #tki    #internasional    #nusa tenggara timur    #dnaa    #mahkamah persekutuan malaysia   

BACA JUGA

BERITA TERBARU