PARBOABOA, Jakarta - Demonstrasi penolakan Revisi UU Pilkada pada Kamis (22/08/2024) lalu menyimpan catatan tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Diinformasikan sejumlah media bahwa banyak massa aksi yang mengalami luka akibat bentrokan langsung dengan aparat keamanan.
Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, represifitas pihak keamanan menyebabkan sebagian mahasiswa dilarikan ke rumah sakit akibat luka serius di kepala.
Seorang mahasiswa lain asal Bandung bernama Andi Andriana juga dikabarkan mengalami luka parah pada mata kirinya sehingga harus menjalani proses operasi.
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) melaporkan setidaknya 51 keluhan mengenai tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dalam penanganan massa aksi.
Ratusan mahasiswa bahkan ditahan pihak keamanan karena diduga bertindak anarkis. Polda Metro Jaya mengklaim telah menahan lebih dari 300 demonstran yang terlibat dalam aksi tersebut.
Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, dalam konferensi pers di Jakarta pada Jumat (23/08/2024) mendesak pihak kepolisian agar membebaskan para tahanan.
"Kami mendesak pihak kepolisian untuk segera membebaskan rekan-rekan yang tidak bersalah dan ditangkap tanpa alasan yang jelas," ujar Maulana.
Demonstrasi yang dilakukan para mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat peduli demokrasi tersebut lantas mengingatkan publik pada perjuangan para aktivis 98.
Waktu itu, hegemoni politik Soeharto dinilai sebagai 'batu sandungan' lahirnya protes luas mahasiswa di berbagai daerah.
Di antara sekian banyak aktivis mahasiswa, sosok yang kemudian menarik perhatian publik adalah Munir Said Thalib.
Lantas, siapa Munir sebenarnya? Bagaimana perjuangannya dalam membela HAM di Indonesia? Apa pelajaran yang dapat dipetik oleh aktivis HAM dan demokrasi dari sosok Munir?
Mengenal Munir
Munir Said Thalib lahir pada 6 Desember 1965 di Batu, Malang, Jawa Timur. Ia adalah putra dari pasangan Said Thalib dan Jamilah, keluarga pedagang muslim keturunan Yaman.
Walaupun berasal dari keluarga pedagang, Munir muda aktif dalam sejumlah organisasi Islam, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Al Irsyad.
Sejak kecil, sosok Munir dikenal sebagai pribadi yang sederhana dan memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap orang lain.
Kehidupannya berubah pasca sang ayah meninggal dunia saat ia masih duduk di bangku kelas 5 SD. Keadaan itu memaksa Munir untuk membantu ibunya dalam berdagang.
Pengalaman menjadi seorang pedagang memberinya pelajaran berharga tentang bagaimana cara berinteraksi dan menghargai sesama.
Saat masih SMP, Munir pernah melaporkan penemuan mayat seorang perempuan yang terbunuh kepada polisi. Pengalaman ini menguatkan tekadnya untuk memperjuangkan kebenaran di kemudian hari.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, Munir melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, di mana ia semakin dikenal sebagai mahasiswa yang kritis dan aktif.
Perjuangannya sebagai aktivis HAM dimulai ketika ia bergabung sebagai relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, di mana ia dikenal sebagai pembela hak-hak buruh.
Dua tahun setelah bergabung bersama LBH Surabaya, Munir diangkat sebagai ketua LBH Pos Malang, tempat ia menunjukkan keberpihakannya dalam memperjuangkan HAM.
Pada tahun 1996, ia mendirikan Koordinator KIP-HAM, yang kemudian menjadi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang fokus pada advokasi dan monitoring kasus-kasus kekerasan negara.
Meskipun aktivitas politiknya sempat terbatas pasca transisi politik 1998, Munir terus menjadi tumpuan bagi para korban penindasan yang datang ke KontraS dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Ia menangani berbagai kasus besar, mulai dari penembakan mahasiswa Trisakti, tragedi Semanggi, hingga kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya seperti Tragedi Mei 1998, Kasus Tanjung Priok, hingga pelanggaran di Timor Timur, Aceh, Papua, Maluku, dan Poso.
Salah satu keberhasilan besar Munir adalah advokasinya yang berhasil melengserkan tiga perwira penting militer Kopassus, yaitu Letjen Prabowo Subianto, Mayjen Muchdi PR, dan Kolonel Chairawan, yang terlibat dalam penculikan aktivis mahasiswa.
Keberhasilan ini menjadi tonggak sejarah dalam dunia politik militer Indonesia, mengingat jarangnya kasus politik yang terungkap di tengah ketertutupan institusi militer.
Keberanian Munir dalam mengungkap berbagai kasus pelanggaran HAM ternyata membuatnya memiliki banyak musuh, terutama dari kalangan para pemegang kekuasaan.
Meski demikian, ia tetap teguh dalam perjuangan, bahkan bertekad untuk memperdalam pengetahuannya tentang HAM dengan melanjutkan studi S2 di Belanda.
Tragedi Udara
Pada 6 September 2004, Munir berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya dengan menggunakan maskapai Garuda Indonesia.
Saat hendak boarding, ia ditawari seorang kru bernama Pollycarpus Budihari Priyanto untuk duduk di kelas bisnis. Meski awalnya menolak, namun ia akhirnya menerima tawaran tersebut dan duduk di kursi 3K.
Pesawat yang ditumpangi Munir lepas landas pada pukul 21.55 menuju Singapura untuk transit, di mana Munir sempat menikmati hidangan yang disediakan maskapai.
Namun, dalam perjalanan dari Singapura ke Amsterdam, Munir mulai merasa tidak enak badan. Ia pindah ke kursi kelas ekonomi dan kemudian menuju toilet.
Dua jam kemudian, Munir mengeluh muntah-muntah dan diare berkali-kali kepada pramugara, yang kemudian membawanya menemui dokter Tarmizi di kelas bisnis.
Meskipun telah mendapatkan perawatan, kondisi Munir tidak membaik. Pada pukul 04.05, sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam, Munir dinyatakan meninggal dunia.
Kabar kematiannya segera tersebar luas dan memunculkan berbagai spekulasi, termasuk dugaan pembunuhan oleh pihak yang merasa terancam dengan perjuangannya.
Hasil autopsi yang dilakukan oleh Institut Forensik Belanda (NFI) mengungkapkan bahwa Munir meninggal akibat racun arsenik dalam dosis tinggi.
Setelah penyelidikan panjang, pada 18 Maret 2005, Pollycarpus ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Mabes Polri.
Dugaan keterlibatannya dengan Badan Intelijen Negara (BIN) semakin menguat setelah beredar pesan singkat yang mengaitkan dirinya dengan perencanaan pembunuhan Munir bersama seorang pejabat BIN.
Kematian Munir menjadi simbol perjuangan tak kenal lelah melawan ketidakadilan. Hingga kini, ia dikenang sebagai salah satu pejuang HAM paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia.
Pekerjaan Rumah
Perjuangan menuntut keadilan atas kematian aktivis HAM Munir Said Thalib telah dimulai sejak 20 tahun lalu.
Namun, hingga kini, negara masih belum mampu memberikan kepastian hukum dan pemenuhan hak bagi para korban.
Pembunuhan Munir menjadi salah satu noda hitam dalam sejarah perlindungan dan penghormatan HAM di Indonesia pasca-reformasi.
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang berhasil mengungkap kematian Munir sebagai pembunuhan berencana yang dilakukan BIN.
Meskipun Pollycarpus, sang eksekutor, telah dijatuhi hukuman dan kini bebas dari penjara, otak di balik kejahatan tersebut masih belum terungkap.
TPF telah melaporkan temuan-temuan ini kepada SBY. Mereka menemukan indikasi adanya konspirasi yang melibatkan oknum di PT Garuda Indonesia.
Pembunuhan kilat atau eksekusi di luar hukum sering dilakukan oleh negara otoriter terhadap musuh politik atau pihak yang dianggap membangkang, termasuk pejuang hak asasi.
Pembela hak asasi sering menjadi target negara karena sikap kritis mereka terhadap kebijakan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Prinsip PBB tentang Pencegahan dan Investigasi Eksekusi Sewenang-wenang menegaskan bahwa negara harus melarang pembunuhan semacam ini.
Namun, di Indonesia, pembunuhan kilat terhadap para aktivis dan pembela hak asasi masih terus terjadi.
Ketidakmauan negara untuk membuka dokumen TPF menunjukkan adanya upaya memelihara impunitas dan menghambat perlindungan bagi pembela hak asasi.
Pada 2017, KontraS bersama koalisi masyarakat sipil mengajukan sidang ke Komisi Informasi Publik, yang memutuskan bahwa dokumen TPF Munir adalah dokumen publik yang harus diumumkan.
Namun, hingga kini, pemerintah berdalih bahwa dokumen tersebut hilang. Dalil tersebut menunjukkan ketidakseriusan dalam menangani kasus kemanusiaan sehingga menghambat upaya advokasi.
Para pembela hak asasi manusia kerap menjadi korban intimidasi, penangkapan, dan penahanan sewenang-wenang, bahkan hingga serangan melalui platform digital.
KontraS mencatat, selama periode Januari-Juli 2020, terdapat 57 kasus teror terhadap pembela hak asasi di Indonesia.
Ketiadaan regulasi yang melindungi pembela hak asasi serta stigma terhadap mereka sebagai pengkhianat negara menjadi faktor penyebab utama.
Meskipun wacana tentang regulasi perlindungan pembela hak asasi sudah muncul sejak 2010, hingga kini belum menjadi prioritas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Regulasi ini seharusnya menjadi langkah konkret dalam melindungi dan mengakui peran penting pembela hak asasi, serta meminimalkan kekerasan terhadap mereka.
Kasus Munir, sebagai simbol perjuangan pembela hak asasi manusia, seharusnya menjadi pelajaran bahwa negara masih belum menjadikan hak asasi, demokrasi, dan keadilan sebagai prioritas dalam kebijakan.
Munir memang telah tiada, namun semangat perjuangan HAM yang diwariskannya harus tetap hidup dan menjadi pengingat bagi pemerintah untuk melindungi para pembela hak asasi.
Pertanyaan yang kemudian tersisa adalah, bagaimana memastikan keadaan para aktivis mahasiswa yang terlibat dalam aksi demonstrasi kemarin? Apakah negara mampu melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan dan intimidasi?
Alarm bahaya baru saja dibunyikan. Seluruh elemen masyarakat menanti sikap manusiawi pemerintah dan pihak keamanan dalam memastikan kondisi para mahasiswa.
Editor: Defri Ngo