PARBOABOA, Jakarta – Dugaan penyelewengan bantuan sosial (bansos) acapkali terjadi menjelang perhelatan politik, termasuk menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Atas pertimbangan itu, Kementerian Dalam Negeri memutuskan untuk menghentikan sementara bansos oleh pemerintah daerah hingga hari pencoblosan Pilkada 2024 yang jatuh pada 27 November 2024 mendatang selesai.
Langkah ini diambil guna menghindari penyalahgunaan terjadinya politisasi bansos oleh para calon kepala daerah.
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya membenarkan hal tersebut, “iya penghentian bansos sementara itu sudah ditetapkan,” jelasnya , Selasa (12/11/2024).
Ia menambahkan , selanjutnya, Kementerian Dalam Negeri akan menerbitkan Surat Edaran (SE) yang ditujukan kepada pemerintah daerah (pemda) untuk segera melakukan penghentian sementara penyaluran bansos.
Walau demikian, aturan ini tidak akan berlaku di daerah-daerah yang sedang terjadi bencana yang memang memerlukan bantuan.
Bima Arya juga menegaskan, pemda yang tidak mengindahkan peraturan tersebut akan mendapat sanksi tegas.
Adapun sanksi tersebut akan diproses sesuai dengan tingkat pelanggaran, apakah hanya berupa pelanggaran administratif atau sudah tergolong tindak pidana pemilu.
Penghentian sementara bansos ini berawal dari usulan Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Deddy Yevry Sitorus.
Pada kesempatan rapat kerja di DPR bersama dengan sejumlah pejabat kepala daerah dan perwakilan Kementerian Dalam Negeri, Deddy mengusulkan agar bansos dihentikan sementara hingga penyelenggaraan Pilkada 2024 usai.
Tujuan penghentian ini, menurut Deddy, agar pelaksanaan Pilkada 2024 dapat berjalan adil bagi semua pihak.
Ia berharap tidak ada pihak-pihak tertentu yang justru diuntungkan. Kalau bisa semua bansos-bansos dari pemerintah daerah dihentikan sementara maka semua yang bertarung equal (setara).
Praktik politisasi bansos saat Pilkada memang menjadi salah satu isu penting yang perlu mendapat perhatian serius.
Karena kenyataanya, bansos yang seharusnya diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan, justru praktiknya digunakan demi kepentingan politik atau kampanye calon kepala daerah tertentu.
Sebagai contoh, pada awal Oktober lalu misalnya, Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng), bersama wakilnya, beberapa pejabat daerah, dan tiga calon kepala daerah, telah dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kalteng.
Mereka diduga melakukan konspirasi untuk mempengaruhi hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Dalam laporan tersebut, mereka mengungkapkan tentang program bantuan sosial yang dilaksanakan dengan anggaran sebesar Rp219,9 miliar untuk sekitar 312.224 penerima manfaat.
Diduga, dalam proses penyalurannya, Pemerintah Provinsi Kalteng menyisipkan calon kepala daerah melalui berbagai cara.
Program yang dimaksud mencakup bantuan sosial (Bansos) berupa uang non tunai senilai Rp145,8 miliar untuk 90.275 penerima manfaat, serta bantuan sosial berupa pangan (Sembako) dengan total Rp31,1 miliar untuk 159.640 penerima.
Praktik penyelewengan lain, ,berupa bantuan barang kepada 307 SMA/SMK dengan total Rp42,9 miliar untuk 62.329 siswa yang terdaftar sebagai pemilih pemula.
Salah satu program yang disebutkan adalah TABE (Tabungan Beasiswa Berkah) tahun 2024, dengan kuota untuk 13.113 mahasiswa di jenjang Diploma III, Diploma IV, dan Strata-1.
Seluruh dana untuk program ini berasal dari anggaran negara sebesar Rp 98,3 miliar.
Menaggapi kebijakan ini, Menteri Sosial (Mensos), Saifullah Yusuf (Gus Ipul), mengaku bakal mengikuti arahan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian.
Walalupun, hal ini berbanding terbalik dengan sikap Gul Ipul yang sempat menyatakan distribusi bansos akan tetap berjalan jelang dan saat pencoblosan Pilkada 2024.
Gus Ipul menjelaskan, dari jadwalnya, memang ini waktunya untuk penyaluran bansos. Tetapi, sesuai arahan dari Kemendagri, “maka sementara kami berhentikan dulu ," jelas Gus Ipul usai rapat bersama Komisi VIII DPR di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2024).
Ia pun mengaku belum mengetahui secara pasti soal kejelasan teknis penghentian sementara penyaluran bansos ini.
Dia hanya mengatakan akan menyesuaikan dengan arahan dan berkomunikasi lebih lanjut dengan Mendagri.
Sementara Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, menegaskan alasan utama pemerintah menghentikan bansos selama Pilkada adalah hanya untuk mencegah terjadinya politisasi bansos.
Dalam banyak kasus, jelasnya, sering kali bansos dijadikan alat kampanye oleh petahana atau kandidat tertentu untuk meraih dukungan masyarakat.
Dengan menghentikan bansos, diharapkan tidak ada potensi penyalahgunaan bantuan untuk kepentingan politik, “yang dapat menciptakan ketidakadilan dalam kompetisi politik lokal,” ujarnya di jakarta, Selasa (12/11/2024).
Meski begitu, Annisa menilai, terdapat beberapa aspek penting yang perlu dikaji dan dianalisa secara kritis atas ketentuan ini.
Khususnya, terkait dengan dampaknya terhadap upaya meredam politisasi bansos dan risiko pelaksanaan kebijakan ini di lapangan.
Karena pada akhirnya, “efektivitasnya sangat bergantung pada pengawasan di lapangan,’ tegasnya.
Menurutnya, jika kebijakan penghentian bansos tidak diiringi dengan pengawasan yang ketat, maka tetap ada peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk membagikan bantuan secara ilegal. Demi kepentingan politik elktoral.
Karena, bisa jadi bantuan ini dibagikan dengan alasan sebagai bantuan pribadi atau bentuk kepedulian sosial yang dapat disamarkan sebagai bentuk bansos.