PARBOABOA, Jakarta - Ganja terus menjadi perdebatan sengit di berbagai belahan dunia.
Bagi negara-negara seperti Kanada, Italia, Argentina, dan Meksiko, legalisasi ganja sudah bukan lagi isu kontroversial.
Mereka melihat tanaman ini sebagai bagian dari solusi medis dan kebutuhan kesehatan.
Namun, kenyataan berbeda terjadi di Indonesia dan beberapa negara lainnya, ganja tetap dilarang keras dan dikategorikan ilegal.
Alasannya jelas, resiko yang ditimbulkan lebih besar daripada manfaat. Tidak hanya mengancam kesehatan fisik dan mental, penggunaan ganja juga berpotensi memicu masalah sosial dan ekonomi.
Karena dampak negatifnya, ganja dikategorikan sebagai narkotika golongan I dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009.
Hal ini menyebabkan siapa pun yang menanam, memelihara, memiliki, menggunakan, atau mengedarkannya dapat dipidana dengan hukuman penjara hingga 12 tahun dan didenda maksimal 8 miliar rupiah.
Sebenarnya, pada Februari 2020 lalu, wacana legalisasi ganja di Indonesia sudah sempat menjadi perbincangan publik.
Saat itu, Rafli, anggota DPR RI dari Dapil 1 Aceh, mengajukan usul bahwa sudah waktunya ganja, terutama yang berasal dari Aceh, dibudidayakan dan dimanfaatkan secara optimal.
Rafli berpendapat bahwa legalisasi ganja menawarkan prospek yang menjanjikan, terutama karena potensinya sebagai bahan baku untuk produk medis berkualitas ekspor.
Selain itu, ia menekankan bahwa ganja memiliki banyak manfaat yang telah terbukti dan dapat menjadi sumber pemasukan signifikan bagi negara.
Untuk itu, Rafli mengimbau agar pemerintah dan masyarakat dapat bersikap lebih fleksibel dalam menyikapi pemanfaatan ganja.
Walau demikian, hingga kini, status ganja di Indonesia belum berubah.
Ganja, atau mariyuana, berasal dari tanaman Cannabis dengan jenis populer seperti Cannabis sativa dan Cannabis indica.
Banyak pengguna mengonsumsi ganja untuk alasan rekreasi, menghirupnya layaknya rokok atau mencampurnya dalam makanan dan minuman.
Namun, setiap bentuk pemakaian pasti membawa risiko yang serius, terutama dalam jangka panjang.
Merujuk beberapa sumber, asap ganja mengandung tar dan partikel berbahaya yang mengendap di paru-paru, meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan.
Bahkan, beberapa penelitian menunjukkan kaitan potensial dengan kanker paru-paru, meskipun masih diperlukan studi lebih lanjut untuk mengonfirmasi dampak tersebut.
Pertama, dampak psikologis dan risiko kecelakaan. Zat aktif dalam ganja, yaitu tetrahydrocannabinol (THC), secara langsung mempengaruhi otak, terutama area hippocampus dan prefrontal cortex.
Pengguna sering mengalami gangguan memori, pengambilan keputusan yang impulsif, dan penurunan kemampuan berpikir jernih.
Penggunaan jangka panjang meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas karena hilangnya kontrol saat berkendara.
Dampak psikologis juga tak kalah serius. Dalam beberapa kasus, penggunaan ganja memicu psikosis seperti halusinasi dan delusi.
Individu dengan riwayat gangguan mental rentan mengembangkan skizofrenia, sementara kecemasan dan depresi sering menjadi dampak lanjutan.
Dalam kasus ekstrim, pemakaian ganja bahkan bisa berujung pada tindakan bunuh diri.
Kedua, bahaya bagi kesehatan reproduksi. Ganja tak hanya mempengaruhi kesehatan mental tetapi juga merusak fungsi reproduksi.
Pria yang konsumsi rutin ganja bisa menurunkan kualitas dan jumlah sperma, sedangkan pada wanita, siklus menstruasi dan ovulasi menjadi tidak teratur.
Dampaknya bisa fatal bagi ibu hamil dan menyusui karena THC dapat mengganggu perkembangan otak janin, meningkatkan risiko cacat lahir, dan terserap ke dalam AS yang bisa menghambat pertumbuhan bayi.
Ketiga, pengaruh pada sistem peredaran darah dan imunitas. Penggunaan ganja memicu peningkatan detak jantung yang bertahan selama beberapa jam, berisiko tinggi bagi penderita penyakit jantung.
Selain itu, mata menjadi merah akibat pelebaran pembuluh darah dan peningkatan tekanan darah menjadi gejala umum pengguna.
Selain itu, pemakaian ganja menekan sistem kekebalan tubuh, membuat pengguna lebih rentan terkena infeksi, terutama bagi mereka yang memiliki kondisi serius seperti HIV/AIDS.
Keempat, sindrom hiperemesis dan masalah sosial. Penggunaan ganja berat memicu sindrom hiperemesis cannabinoid, kondisi berupa mual dan muntah berulang yang sering membutuhkan perawatan medis karena dapat menyebabkan dehidrasi parah.
Secara sosial, ketergantungan ganja menurunkan kualitas hidup, memicu konflik dalam hubungan sosial, dan mengurangi produktivitas akibat sulitnya berkonsentrasi dan bekerja dengan baik.
Di Indonesia, ganja masuk dalam golongan I narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
Artinya, ganja dilarang digunakan kecuali untuk kepentingan penelitian. Pelanggaran atas regulasi ini dapat berujung pada hukuman pidana berat.
Penetapan hukuman berat ini pun bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya narkotika dan menjaga kesehatan publik.
Meski negara-negara lain mulai melegalkan ganja untuk tujuan medis, Indonesia tetap konsisten mempertahankan larangannya.
Pertimbangannya sederhana, yaitu dampak sosial dan kesehatan yang lebih besar dibandingkan manfaat yang mungkin diperoleh.
Kebijakan ini memang sejalan dengan upaya menjaga generasi muda agar terhindar dari jerat penyalahgunaan narkotika.
Karena itu, pencegahan tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum. Edukasi publik, terutama kepada generasi muda, menjadi kunci agar mereka memahami risiko dan tidak terjebak dalam lingkaran ketergantungan.
Sosialisasi bahaya narkotika harus terus digencarkan di sekolah, komunitas, termasuk melalui media. Kesadaran kolektif dan kebijakan yang jelas dan konsisten sangat dibutuhkan agar terbebas dari bahaya narkotika.