PARBOABOA, Jakarta - Praktik nikah muda sering kali terlihat menarik, terutama di era media sosial, di mana banyak kawula memperlihatkan momen manis bersama pasangan mereka.
Namun, dibalik semua kemanisan tersebut, pernikahan muda membawa resiko besar yang sering diabaikan.
Di Indonesia, undang-undang menetapkan bahwa pernikahan diizinkan bagi pasangan yang berusia 19 tahun ke atas. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Bab II Pasal 7 Ayat 1.
Meskipun sudah ada batasan usia, fenomena pernikahan dini masih marak terjadi. Pada tahun 2020, misalnya angka perkawinan anak mencapai 10,35 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan tiga tahun terakhir (2021-2023).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga pada acara Launching ““Panduan Praktis Strategi Nasional” Pelaksanaan Pencegahan Perkawinan Anak di Daerah” mengafirmasi gejala tersebut.
Peningkatan angka tersebut menunjukkan bahwa masalah pernikahan dini di Indonesia marak terjadi.
Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi salah satu provinsi dengan jumlah pernikahan dini yang masih meningkat di Indonesia.
Pada 2021, pernikahan dini di kalangan perempuan tercatat sebesar 16,59%. Selanjutnya, pada 2022, angkanya turun menjadi 16,23%, namun kembali meningkat menjadi 17,32% pada 2023.
Penyebab Pernikahan Dini
Menurut riset Tampubolon (2021) disebutkan bahwa praktik pernikahan dini biasanya disebabkan oleh dua faktor utama, yakni faktor dari dalam diri dan faktor di luar diri.
Secara lebih jelas, Tampubolon meringkas ada setidaknya empat hal yang menjadi penyebab pernikahan dini.
Pertama, Pendidikan. Tingkat pendidikan berperan besar dalam keputusan pernikahan dini. Rendahnya pendidikan pada remaja dan orang tua memengaruhi kemampuan berpikir dan membuat keputusan, yang dapat meningkatkan kecenderungan menikah di usia muda (Amelia et al., 2017).
Pendidikan orang tua juga memiliki peranan dalam keputusan buat anaknya, karena di dalam lingkungan keluarga, pendidikan anak yang pertama dan utama (Kurniawati & Sari, 2020).
Kedua, Ekonomi. Masalah ekonomi dalam keluarga sering menjadi alasan orang tua menikahkan anaknya dengan seseorang yang dianggap lebih mampu secara finansial.
Hal ini dikarenakan orang tua merasa tidak mampu membiayai pendidikan anaknya dan beranggapan bahwa setelah menikah, anak tersebut akan membantu meringankan beban ekonomi keluarga.
Ketiga, Keinginan sendiri. Perasaan seseorang tidak bisa dihalangi oleh apapun apalagi ketika dua-duanya saling mencintai mereka akan memilih untuk menikah, tanpa melihat usia dan berpikir apa yang akan terjadi kedepan.
Keempat, Lingkungan. Menurut Suhadi (2012), dalam masyarakat dengan pola hubungan tradisional, pernikahan dipandang sebagai "keharusan sosial" yang menjadi bagian dari tradisi turun-temurun dan dianggap sakral.
Dampak Pernikahan Dini
Menurut Kementrian Kesehatan (Kemenkes) ada beberapa dampak ketika individu memilih untuk menikah muda, baik pada individu, anak maupun lingkungan.
Pernikahan dini memiliki dampak seperti pada pendidikan. Banyak remaja yang harus berhenti sekolah setelah menikah, membuat mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri dan mengejar impian.
Dengan menikah dan memiliki anak di usia muda, banyak mimpi dan peluang yang harus tertunda atau bahkan hilang sama sekali.
Dampak bagi kesehatan seperti kondisi rahim yang belum kuat sehingga kandungan lemah dan sel telur yang belum sempurna menjadikan anak lahir prematur dan cacat.
Masa remaja adalah periode transisi dengan emosi yang tidak stabil dan pencarian identitas.
Ketidakstabilan emosi dapat mempengaruhi pola asuh anak, yang seharusnya memberikan lingkungan keluarga yang tenang, harmonis, dan stabil untuk perkembangan anak.
Anak-anak yang lahir berpotensi besar menghadapi masalah kesehatan dan kesejahteraan, karena orang tua muda kurang memiliki pengetahuan untuk memberikan perawatan yang baik.
Selain itu pernikahan dini juga berdampak pada tingkat kemiskinan, buta huruf dan menghambat kemajuan sosial dan ekonomi.
Jadi menikah bukanlah sebuah perlombaan. Sebelum memutuskan untuk menikah, penting untuk memastikan bahwa kita sudah siap secara mental, emosional, fisik, dan finansial.
Menikah juga bukan hanya soal cinta, tetapi juga soal kesiapan menghadapi tantangan kehidupan bersama.
Dengan begitu, kita bisa membangun keluarga yang sehat dan bahagia tanpa harus terburu-buru.
Seperti kata pepatah “menikah itu tidak harus cepat, tetapi di waktu yang tepat!”