PARBOABOA, Jakarta - Kasus bunuh diri di dunia, termasuk di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor.
Salah satu faktor paling dominan adalah korban seringkali teridentifikasi mengalami gangguan kesehatan mental.
Kesehatan mental sendiri sangat berkaitan dengan kondisi kejiwaan seseorang. Jika kondisi kejiwaannya sehat, mentalnya juga akan sehat dan kuat. Begitupun sebaliknya.
Di Indonesia, berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2023, kesehatan jiwa sudah diakui sebagai bagian penting dari aspek kesehatan secara keseluruhan.
Itu artinya, untuk mencapai kondisi kesehatan jiwa yang optimal, diperlukan langkah-langkah promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilakukan secara bersama, baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan juga oleh masyarakat.
Apalagi, menyongsong bonus demografi pada tahun 2035, di mana 70% penduduk akan berada dalam usia produktif, upaya menjaga kesehatan jiwa menjadi sangat penting.
Paling tidak, ada harapan, dengan kesehatan jiwa yang baik, masyarakat diharapkan dapat lebih produktif dalam kehidupan dan pekerjaan mereka.
Namun ironisnya, masalah kesehatan mental dalam negeri semakin memprihatinkan, terutama pada kelompok anak-anak, remaja, dan usia produktif.
Bahkan data Kemenkes menunjukkan, kelainan mental pada usia tersebut di atas menempati urutan ke 7 sebagai beban kesehatan.
Selain itu, prevalensi gangguan mental berat seperti skizofrenia di Indonesia cukup tinggi, dengan angka sekitar 0,18% atau sekitar 495 ribu orang.
Tantangan lain yang muncul adalah kesenjangan dalam akses pengobatan, di mana banyak penderita skizofrenia, sekitar 51%, tidak menjalani pengobatan secara rutin.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena skizofrenia merupakan penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan jangka panjang agar kondisi pasien tetap stabil.
Pencegahan Kasus Bunuh Diri
Bunuh diri merupakan jalan pintas yang akan diambil seseorang jika tak mampu keluar dari kondisi tak berdaya, sebagaimana digambarkan di atas.
Karena itu hal mendesak yang harus dilakukan saat ini adalah mendukung kesadaran akan pentingnya kesehatan mental sembari mencegah tindakan bunuh diri.
Di Indonesia, pemerintah sebenarnya telah menyediakan hotline pencegahan bunuh diri melalui layanan SEJIWA pada nomor 119 ext 8.
Namun peneliti dan relawan yang bergerak pada isu bunuh diri menilai, layanan ini belum memadai dan tidak maksimal.
Peneliti kesehatan mental dari Black Dog Institute di Australia, Sandersan Onie, mengakui hal itu saat mendampingi dua orang penyitas, Karina dan Rara (bukan nama sebenarnya).
Sandersan menyebut, layanan hotline sangat penting bagi penyintas meski belum benar-benar teruji efektif mencegah bunuh diri.
Ia khawatir hotline yang tidak berfungsi dengan optimal dapat membuat orang merasa kecewa atau kehilangan kepercayaan untuk mencari bantuan di masa depan.
Tak hanya itu, dalam kondisi krisis, kata dia, seseorang mungkin hanya punya satu kesempatan untuk mencari pertolongan, dan jika yang mereka temui hanyalah pesan suara atau nomor yang tidak aktif, "mereka bisa merasa putus asa dan enggan mencoba lagi di kemudian hari."
Lulu Febriawati, pengelola program di komunitas Into The Light yang fokus pada edukasi dan pencegahan bunuh diri, juga menyoroti bahwa layanan hotline pencegahan bunuh diri di Indonesia masih sangat terbatas.
Banyak orang, kata dia, termasuk pengguna media sosial komunitas ini, mengeluhkan sulitnya mengakses hotline tersebut.
Padahal, keberadaan layanan ini, lanjutnya, penting karena orang yang berada dalam kondisi krisis sering kali ragu untuk mencari pertolongan secara langsung atau tatap muka.
Ia berkata, dengan hotline, mereka bisa mendapatkan bantuan lebih mudah dan cepat, terutama di tengah keterbatasan layanan kesehatan mental yang ada di Indonesia.
Sejak 2010, Kemenkes memang sempat meluncurkan hotline pencegahan bunuh diri dengan nomor 500-454. Namun, layanan ini dihentikan pada 2014 karena penurunan jumlah penelepon.
Komunitas Into The Light juga pernah menyediakan layanan serupa melalui email, tetapi layanan ini berakhir pada 2018.
Saat pandemi COVID-19 melanda pada 2020, tekanan psikologis masyarakat meningkat signifikan, dan pemerintah kemudian merespons dengan meluncurkan layanan SEJIWA di nomor 119 ext. 8 sebagai jalur bantuan untuk dukungan mental dan pencegahan bunuh diri.
Namun demikian, Lulu menyayangkan fungsi layanan ini, "karena tidak beroperasi 24 jam." Padahal, situasi krisis, tegasnya "bisa terjadi kapan saja."
Tanggapan Kemenkes
Direktur Kesehatan Jiwa Kemenkes, Vensya Sitohang, menegaskan bahwa layanan SEJIWA melalui 119 ext. 8 tetap beroperasi dan dapat diakses.
Menurutnya, meskipun ada anggapan layanan ini sulit dihubungi, kenyataannya setiap hari ribuan panggilan masuk.
Dari jumlah itu, kata dia hanya sebagian kecil yang benar-benar memerlukan bantuan khusus untuk kesehatan jiwa.
"Kalau tidak salah itu hanya 2 sampai 3 persen," tegasnya.
Ia mengatakan, seiring meningkatnya kebutuhan akan layanan darurat ini, Kemenkes terus memperbaiki kualitas pelayanan.
Hambatan seperti masalah jaringan dan keterbatasan sumber daya manusia mulai ditangani, dan kini sistem layanan SEJIWA semakin rapi dengan kehadiran psikolog klinis dan psikiater yang dijadwalkan secara teratur.
Menurutnya, ini memungkinkan orang yang membutuhkan bantuan spesialis kesehatan jiwa bisa segera terhubung dengan tenaga ahli yang tepat.
Vensya juga menyadari bahwa ada banyak faktor yang bisa menyebabkan kendala akses layanan, namun ia optimis bahwa peningkatan ini akan memudahkan masyarakat dalam mendapatkan dukungan kesehatan jiwa yang dibutuhkan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ketersediaan saluran krisis untuk pencegahan bunuh diri sangatlah penting.
Badan itu mengatakan, saat ini banyak orang yang berpikir untuk mengakhiri hidupnya justru enggan mencari bantuan secara langsung, baik melalui fasilitas kesehatan maupun dari keluarga atau teman-temannya.
Bahkan, mereka yang sudah menjalani perawatan kesehatan mental kadang-kadang tidak terbuka tentang pikiran-pikiran negatif yang mereka alami.
Karena itu, WHO memahami bahwa keberadaan saluran krisis yang aman dan rahasia dapat membantu mengatasi stigma yang sering kali membuat orang ragu untuk meminta bantuan secara tatap muka.
Dengan adanya layanan ini, individu yang merasa tertekan bisa berbicara secara terbuka tanpa takut dihakimi atau diberi label tertentu.
Saluran pencegahan bunuh diri yang ideal, menurut WHO, adalah yang dapat diakses 24 jam dan gratis, memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin berbagi tanpa merasa terbebani biaya atau waktu.
Para operator layanan ini harus terdiri dari relawan terlatih dan profesional kesehatan mental yang mampu mendengarkan dengan penuh empati, tanpa menghakimi atau memaksakan pandangan pribadi.
Kerahasiaan adalah kunci dalam layanan ini. Informasi pribadi penelpon dijaga dengan sangat ketat, kecuali dalam situasi darurat di mana keselamatan mereka benar-benar terancam.
Selain itu, para operator dituntut untuk selalu netral dan menghormati latar belakang agama, politik, atau ideologi penelepon, memastikan setiap orang yang menghubungi mendapatkan dukungan yang tulus dan tanpa diskriminasi.
Dengan pendekatan yang ramah, aman, dan terbuka ini, WHO berharap semakin banyak orang merasa nyaman mencari pertolongan saat berada dalam kondisi terburuk, sehingga saluran ini benar-benar bisa menjadi jembatan penyelamat di masa-masa kritis.