PARBOABOA, Jakarta - Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik beberapa orang dekat Prabowo Subianto sebagai Wakil Menteri (Wamen).
Pelantikan itu dibuat pada Kamis (18/07/2024) bertempat di Istana Negara. Sementara, Wamen yang dilantik adalah Thomas Djiwandono (Wamen Keuangan II), Sudaryono (Wamen Pertanian), dan Yuliot Tanjung (Wamen Menteri Investasi).
Adapun Thomas Djiwandono adalah keponakan Prabowo Subianto yang memiliki karier panjang sebagai pengusaha dan Bendahara Umum Partai Gerindra.
Sebagai Wamen Keuangan II, Thomas bertugas memastikan kesinambungan program dari pemerintahan Jokowi ke Prabowo yang akan dilantik pada Oktober 2024 mendatang.
Sementara Sudaryono adalah mantan asisten pribadi Prabowo dan Ketua DPD Gerindra Jawa Tengah.
Saat upacara pelantikan, Sudaryono menekankan, sektor pertanian akan menjadi prioritas dalam pemerintahan Prabowo, sejalan dengan kebijakan kedaulatan pangan yang telah dicanangkan Jokowi.
Sedangkan Yuliot Tanjung pernah menjabat sebagai Penata Kelola Penanaman Modal Ahli Utama di Kementerian Investasi/BKPM.
Sebelumnya, dari September 2023 hingga Juni 2024, ia menjabat sebagai Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal.
Pelantikan ketiga figur tersebut menuai kritik karena dianggap tidak memiliki urgensi dan sarat dengan politik akomodasi kekuasaan.
Tiga Wamen yang baru dilantik hanya akan menjabat kurang dari empat bulan hingga Oktober mendatang, tanpa mempertimbangkan meritokrasi yang jelas.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai pemerintahan telah kehilangan rasionalitas dalam menentukan sosok yang layak menduduki posisi Wamen.
Menurutnya, penunjukan ini lebih didasari oleh selera politik penguasa daripada kapasitas individu yang bersangkutan.
"Ini pertanda rezim kehilangan kewarasan dalam memutuskan pengangkatan wakil menteri," ujarnya pada Jumat (19/07/2024).
Kritik Terhadap Penunjukan Wamen
Herdiansyah Hamzah atau akrab disapa Castro menyebut alasan penunjukan Wamen baru terkesan tidak masuk akal.
Ia menilai bahwa transisi seharusnya berbasis fungsional, bukan sekadar politik akomodatif.
"Tindakan ini menunjukkan betapa besar pengaruh kepentingan politik dalam keputusan strategis," katanya.
Sementara itu, Peneliti dari Perludem, Annisa Alfath, berpendapat bahwa penunjukan tiga Wamen tersebut kemungkinan besar hasil dari negosiasi politik yang terjadi di balik layar.
Menurutnya, masa jabatan singkat tiga Wamen baru hanya membebani anggaran negara tanpa urgensi yang jelas.
"Pelantikan tiga Wakil Menteri menjelang akhir masa pemerintahan ini tampak sulit dibenarkan dari sudut pandang profesionalitas dan cenderung dianggap sebagai pemborosan anggaran," kata Nisa pada Jumat (19/07/2024).
Lebih lanjut, Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute (TII), Center for Public Policy Research, Arfianto Purbolaksono menyatakan pengangkatan tiga Wamen baru sarat dengan aroma politik kekuasaan.
Menurutnya, posisi Wamen seharusnya diisi figur yang memiliki kapasitas dan pengalaman untuk membantu kerja-kerja kementerian terkait urusan strategis.
Ia juga menekankan bahwa pola bagi-bagi kekuasaan dengan alasan transisi semacam ini tidak pernah terjadi pada periode pemerintahan sebelumnya.
Hal serupa diungkapkan oleh Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan yang menyatakan reshuffle jabatan tiga Wamen menjelang Jokowi lengser tidak akan efektif.
Ia menilai penambahan jabatan baru seperti wakil menteri hanya bertujuan memenuhi politik balas budi kepada pihak tertentu yang berjasa saat Pilpres 2024.
Wewenang Presiden dalam Penunjukan Wamen
Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, menyatakan keberadaan tiga Wamen di Kementerian Keuangan bukanlah hal baru dalam Kabinet Indonesia Maju.
Ia menegaskan bahwa pelantikan dan penambahan kursi Wamen merupakan kewenangan mutlak Presiden Jokowi.
Mereka bertugas menyiapkan program yang akan dijalankan presiden dan wakil presiden terpilih.
Meskipun demikian, penunjukan Wamen baru tetap menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat dan pakar politik.
Keputusan ini menunjukkan bahwa politik akomodatif masih menjadi bagian integral dari dinamika kekuasaan di Indonesia, meskipun seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip meritokrasi dan efisiensi pemerintahan.
Editor: Defri Ngo