PARBOABOA, Jakarta - Jakarta tidak hanya dikenal sebagai pusat ekonomi Indonesia tetapi kota yang tak lepas dari sejarah dunia kriminal, termasuk fenomena premanisme.
Liputan khusus PARBOABOA pada Senin (21/10/2024) memperlihatkan banyak pemuda dari Indonesia Timur seperti Ambon dan NTT yang merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai preman.
Eten (35), misalnya seorang pemuda berdarah Ambon akhirnya memutuskan berangkat ke Jakarta karena ketertarikan pada sosok beberapa sesepuh yang berlibur ke kampung halaman.
"Ketika abang-abang pulang dari Jakarta, mereka terlihat sangat keren. Gaya mereka begitu gagah, memakai kalung emas. Saya termotivasi. Jadi, ada keinginan untuk mengikuti jejak mereka," ujarnya kepada PARBOABOA, Sabtu (12/10/2024).
Ketertarikan pada penampilan akhirnya mendesak Eten terjun ke dunia hitam premanisme. Ia dan pihaknya tak jarang berbenturan dengan para debitur yang berujung pada konflik panjang.
"Dulu, pasti ada baku potong, karena orang-orang datang membawa samurai," tambah Eten mengenang beberapa peristiwa penting dalam hidupnya.
Istilah "preman" sesungguhnya merujuk pada sosok yang kerap terlibat dalam aktivitas kekerasan dan pemerasan, mulai dari memalak hingga menjadi penguasa jalanan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), preman digambarkan sebagai sosok yang berperilaku jahat dan sering kali diidentikkan dengan penodong, perampok atau pemeras.
Preman hadir di berbagai pelosok Nusantara dengan sejumlah sebutan lokal seperti jago, jawara atau gali yang bekerja sebagai tukang parkir, satpam, atau pekerja yang mengatur lalu lintas.
Dalam menjalankan peran, mereka sering meminta bayaran kepada pedagang kaki lima, sopir, dan pemilik toko sebagai imbalan atas "jasa keamanan".
Namun, menurut peneliti dari Murdoch University, Ian Douglas Wilson, keamanan yang ditawarkan sering kali berarti perlindungan dari ancaman preman lain atau bahkan dari preman itu sendiri.
Ian menjelaskan bahwa tradisi preman sudah ada jauh sebelum masa penjajahan, dengan para jago yang terkenal karena kemampuan fisik dan bela diri mereka.
Ketika Belanda mulai memperluas kekuasaannya, para jago tetap memiliki ruang gerak, bahkan berperan dalam catur politik lokal di wilayah Batavia.
Peneliti dari Australian National University, Robert Cribb, menggambarkan bagaimana para jago ini bekerja bersama para juragan untuk mengkoordinir buruh.
Mereka juga memimpin kelompok perampok demi menjaga kekuatan ekonomi para pedagang kaya, termasuk pedagang Arab dan China.
Istilah "preman" sendiri berasal dari kata Belanda "vrijman," untuk menyebut para jago perkotaan yang tidak terikat dengan VOC namun diizinkan eksistensinya di Hindia Belanda.
Seiring waktu, para jago ini bertransformasi dan terhubung dengan kelompok nasionalis yang membenci kolonial.
Ketika Jepang menguasai Indonesia, aliansi antara para jago dan kaum nasionalis semakin menguat dan membentuk basis revolusioner yang melawan kekuatan kolonial.
Setelah kemerdekaan Indonesia, banyak dari para jago bergabung dengan militer atau membentuk kelompok mereka sendiri.
Salah satu yang terkenal adalah Imam Sjafe’i atau Bang Pi’i, yang mendirikan organisasi semi-militer bernama Korps Bambu Runcing (Kobra) pada 1949 untuk membantu keamanan di Jakarta.
Peran para jago ini kemudian diakui oleh Jenderal Nasution yang berupaya memanfaatkan mereka dalam kerangka kerja sama militer dan politik untuk mendukung stabilitas kekuasaan.
Rezim Orde Baru dan Reformasi
Pada era Orde Baru, fenomena premanisme berubah menjadi lebih terstruktur dan dilembagakan. Pemerintah menggunakan preman sebagai alat untuk mengontrol situasi keamanan.
Preman-preman ini sering digunakan untuk menjaga stabilitas, termasuk menghadapi kelompok yang dianggap sebagai ancaman politik seperti para pendukung kemerdekaan Timor Timur.
Soeharto juga menerapkan operasi penembakan misterius (Petrus) untuk mengendalikan preman-preman yang tidak tunduk pada pemerintah.
Operasi ini menegaskan bahwa meski preman memiliki pengaruh di tingkat lokal, mereka tetap bergantung pada dukungan pemerintah.
Banyak preman akhirnya bergabung dengan organisasi seperti Pemuda Pancasila (PP) untuk bertahan hidup.
Runtuhnya Orde Baru pada 1998 tidak mengakhiri premanisme di Jakarta. Sebaliknya, fenomena ini berkembang dengan munculnya berbagai organisasi baru yang berupaya mengisi kekosongan kekuasaan.
Jika di masa Orde Baru preman harus loyal pada ideologi Pancasila, di era Reformasi mereka mulai membawa identitas lokalitas, etnis, dan agama sebagai basis legitimasi.
Organisasi seperti Forum Betawi Rempug (FBR) tumbuh pesat di Jakarta. Menurut Ian Wilson, FBR dibentuk sebagai respon terhadap ketidakadilan sosial yang dialami warga Betawi, yang merasa terpinggirkan oleh kebijakan Orde Baru.
Meski mengklaim sebagai gerakan sosial, FBR dan organisasi sejenis tetap menggunakan pendekatan kekerasan dalam mengamankan wilayahnya.
Pengaruh Politik dan Sosial
Premanisme di era Reformasi semakin rumit karena sering kali bersinggungan dengan dinamika politik Ibu Kota.
Banyak organisasi preman yang menjalin hubungan dengan partai politik untuk memperkuat pengaruh mereka.
Misalnya, dalam beberapa kasus, mereka terlibat dalam konflik lahan dan pertikaian dengan kelompok advokasi pro-rakyat miskin kota seperti Urban Poor Consortium (UPC).
Pada peristiwa terbaru, dalam sengketa tanah di Pancoran, Jakarta Selatan, warga setempat diserang ormas yang bekerja sama dengan salah satu pihak yang berkepentingan.
Fakta ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi perubahan dalam bentuk dan wajah premanisme di Jakarta, pola-pola lama seperti kekerasan dan pemaksaan tetap berlanjut.
Dengan memanfaatkan celah kekuasaan, preman di Jakarta terus mencari cara untuk bertahan hidup di tengah dinamika politik dan sosial yang selalu berubah.
Namun, yang menarik, perubahan ini juga memperlihatkan bagaimana preman tidak lagi sekadar pelaku kriminal, melainkan bagian dari jaringan sosial yang lebih kompleks dan menyatu dengan gerakan politik dan aspirasi masyarakat tertentu.
Dalam setiap transformasinya, premanisme di Jakarta menjadi cermin dari perubahan Ibu Kota sendiri, antara harapan pembangunan dan tantangan kekerasan yang tak kunjung usai.