PARBOABOA, Jakarta - Kurang dari dua minggu lagi, Indonesia akan memasuki masa transisi kepemimpinan.
Salah satu isu kuat jelang pergantian tersebut adalah presiden baru, Prabowo Subianto akan menambah tupoksi kabinet dari kalangan profesional.
Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani dalam sebuah keterangan belum lama ini, memberi sinyal positif terkait realisasinya.
Kata dia, Prabowo sudah mengantongi susunan menteri kabinet yang didominasi para ahli dalam bidangnya masing-masing. Namun begitu, nama-nama tersebut tetap harus mendapat persetujuan dari partai politik (parpol) pendukungnya.
"Sekarang masih terus digodok," pungkas Muzani.
Tak hanya itu, Prabowo sejauh ini, tambahnya, tengah mendengarkan masukan berbagai pihak termasuk usulan partai-partai koalisi.
Pada intinya semua keputusan akan dikaji secara cermat dan Prabowo, "akan mengambil keputusan terbaik bagi pemerintahan yang akan datang."
Wakil Ketua Umum PAN, Viva Yoga Mauladi menguatkan pernyataan Ahmad Muzani. Menurutnya, mantan Komandan Komando Pasukan Khusus itu telah jauh-jauh hari menginginkan terbentuknya zaken kabinet.
Alasannya supaya pemerintahan berjalan sesuai visi-misi, yaitu membangun Indonesia Emas di 2045 serta memastikan mereka yang ditunjuk tidak kehilangan relevansi pada jabatan yang diduduki.
Kendati demikian, Viva mengatakan para ahli atau profesional yang dimaksud bisa berasal dari mana saja termasuk dari parpol.
"Makanya diusulkan nama yang memang punya kemampuan dan pengalaman di bidangnya masing-masing," katanya.
Dalam keterangan terpisah, Pengamat Politik, Dedi Kurnia Syah menilai, zaken kabinet akan sulit terwujud apabila postur kabinetnya gemuk alias ada penambahan jumlah kursi menteri.
Isu yang beredar, kabinet Prabowo-Gibran akan bertransformasi lebih besar, disebut-sebut lebih dari 34 kementerian saat ini.
Dalam struktur pemerintahan yang obesitas seperti itu, kata Dedi, terwujudnya zaken kabinet terasa sulit. Kalaupun terjadi, kapasitas tokoh non politisi yang masuk dalam struktur kabinet merupakan hasil rekomendasi parpol.
Bagi Dedi, situasi ini sama saja dengan pseudo zaken atau seolah-olah zaken tetapi ternyata tidak. Di sisi lain, jumlah anggota kabinet yang potensial bertambah, "akan menyulitkan realisasi zaken kabinet."
Pemerintah pusat, kata dia, idealnya beroperasi dengan struktur kabinet yang lebih sederhana dibandingkan saat ini.
Beberapa posisi, termasuk jabatan wakil menteri, bila perlu dikurangi daripada ditambah.
Ia mengingatkan, struktur kabinet yang terlalu besar berisiko menciptakan politik akomodasi, yang lebih mengutamakan penempatan tokoh yang berjasa dalam Pilpres, tanpa mempertimbangkan kapasitas atau kemampuan mereka.
Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga mengatakan, pembentukan kabinet ahli membutuhkan keberanian Prabowo Subianto.
Dalam hal ini, Prabowo perlu mempertimbangkan dukungan dari partai-partai politik yang menyokongnya.
Jika ingin membentuk kabinet yang benar-benar berisi para profesional, Prabowo harus tegas menolak calon-calon yang diusulkan partai apabila mereka tidak memiliki keahlian dan profesionalisme di bidang masing-masing.
Namun, situasinya tidak mudah. Prabowo didukung oleh koalisi besar, di mana setiap partai pendukung kemungkinan akan meminta posisi sebagai menteri atau wakil menteri.
Dengan banyaknya partai yang terlibat, pembentukan kabinet ahli akan menjadi tantangan, terutama karena calon-calon yang diusulkan sering kali berasal dari ketua umum partai.
Apalagi, "yang menentukan calon menteri atau wamen untuk diusulkan ke presiden adalah ketua umum partai," katanya.
Jamiluddin berkata, ketua umum partai umumnya lebih mengutamakan diri mereka sendiri untuk menjadi menteri atau wakil menteri, meskipun tidak selalu memiliki keahlian yang diperlukan.
Hal ini membuat Prabowo sulit untuk secara penuh memilih kandidat yang benar-benar sesuai kriteria ahli dan profesional.
Namun jika Prabowo berhasil membentuk kabinet yang diisi oleh para profesional, langkah tersebut, kata dia, layak mendapat apresiasi.
Pasalnya, dengan dipimpin oleh orang-orang yang kompeten, setiap kementerian dapat bekerja lebih optimal dan mencapai target dengan lebih baik.
Zaken kabinet adalah jenis kabinet pemerintahan yang anggotanya dipilih berdasarkan keahlian dan kompetensi mereka, bukan karena afiliasi politik.
Kabinet ini sering disebut sebagai kabinet ahli atau kabinet profesional, dengan fokus utama menyelesaikan berbagai masalah dengan mengandalkan kemampuan khusus para anggotanya.
Istilah 'zaken' berasal dari bahasa Belanda yang berarti urusan atau masalah, sehingga kabinet ini difokuskan untuk menangani berbagai persoalan secara efisien dan efektif.
Berbeda dengan kabinet koalisi yang biasanya banyak ditemui dalam sistem parlementer, di mana posisi menteri dibagi sesuai dengan kesepakatan antar partai, zaken kabinet mengutamakan kompetensi dibandingkan afiliasi partai.
Artinya, pemilihan anggota kabinet lebih bebas dari kepentingan politik, dengan tujuan utama mencapai target dan tujuan spesifik yang telah ditetapkan.
Indonesia sendiri pernah menerapkan konsep zaken kabinet, meskipun tidak sepenuhnya murni. Beberapa contoh zaken kabinet di Indonesia antara lain Kabinet Natsir, Kabinet Wilopo, dan Kabinet Djuanda.
Kabinet Natsir, yang dilantik pada 1950, terdiri dari tokoh-tokoh terkenal dan ahli di bidang masing-masing, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Ir. Djuanda. Fokus utamanya adalah memperkuat pemerintahan dan ekonomi nasional serta menyelesaikan masalah Irian Barat.
Kabinet Wilopo yang dibentuk pada 1952 juga mengusung konsep serupa, dengan prioritas program-program dalam negeri seperti pelaksanaan pemilu dan peningkatan kesejahteraan rakyat, serta penyelesaian hubungan Indonesia-Belanda.
Di sisi lain, Kabinet Djuanda yang dibentuk pada 1957 menghadapi tantangan ekonomi dan politik, termasuk perjuangan mengembalikan Irian Barat dan menyelesaikan krisis dalam negeri.
Kabinet ini dikenal melalui Deklarasi Djuanda yang menetapkan batas perairan nasional Indonesia, menegaskan kesatuan wilayah antara daratan dan lautan Indonesia.
Meskipun zaken kabinet lebih berfokus pada keahlian dan profesionalisme, penerapannya di Indonesia sering kali dipengaruhi oleh dinamika politik dan kebutuhan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan, terutama dalam situasi koalisi besar.
Hal ini membuat pembentukan zaken kabinet memerlukan keberanian pemimpin dalam menolak kandidat yang kurang sesuai, demi memastikan kabinet diisi oleh orang-orang yang benar-benar ahli di bidangnya.