PARBOABOA, Jakarta - Wacana tunjangan perumahan untuk anggota DPR RI kembali menjadi sorotan publik setelah Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar, mengumumkan bahwa fasilitas rumah dinas (RJA) akan dihapuskan.
Sebagai penggantinya, para anggota DPR akan mendapatkan tunjangan perumahan yang nilainya diperkirakan mencapai hingga Rp70 juta per bulan.
Melalui Surat Nomor B/733/RT.01/09/2024 yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal DPR pada 25 September 2024 menyatakan bahwa rumah dinas akan dikembalikan kepada Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
Sebagai gantinya, anggota DPR RI akan menerima tunjangan perumahan setiap bulan.
Tunjangan ini dapat digunakan sesuai kebutuhan, seperti untuk menyewa atau membeli rumah, maupun sebagai uang muka properti.
Selain itu, tunjangan ini juga diberikan kepada anggota DPR yang sudah memiliki rumah di wilayah Jabodetabek.
Langkah tersebut dinilai sejalan dengan kebijakan efisiensi anggaran negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Kebijakan ini dianggap lebih hemat dibandingkan mempertahankan rumah dinas yang memerlukan biaya perawatan tinggi, sehingga pemerintah berharap dapat mengurangi beban anggaran.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menolak adanya kebijakan pemberian tunjangan tersebut. ICW menilai kebijakan ini sebagai bentuk pemborosan anggaran negara dan tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat.
ICW kemudian membandingkan pola belanja untuk pengelolaan RJA selama periode 2019-2024 dengan perhitungan tunjangan perumahan bagi anggota DPR dalam satu periode.
Staf Divisi Korupsi Politik Seira Tamara dalam rilis pers ICW, menjelaskan, total pemborosan anggaran oleh anggota DPR untuk tunjangan perumahan.
"Pemborosannya berkisar Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan,” kata Tamara, Kamis (10/10/2024).
ICW mengungkapkan hasil penelusuran melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), yang menemukan adanya 27 paket pengadaan dengan total kontrak mencapai Rp 374,53 miliar.
Dari jumlah tersebut, dua paket pengadaan dilaksanakan pada tahun 2024 untuk pemeliharaan mekanikal, elektrikal, dan plumbing dengan total kontrak sebesar Rp35,8 miliar.
Temuan ini mengindikasikan adanya perencanaan yang matang agar anggota DPR bisa menempati rumah dinas.
Selain itu, ICW juga menghitung perkiraan tunjangan yang akan diterima oleh 580 anggota DPR selama periode 2024-2029.
Berdasarkan informasi dari sejumlah media, Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, mengungkapkan bahwa setiap anggota DPR akan menerima tambahan tunjangan perumahan sekitar Rp 50-70 juta per bulan.
Jika dihitung secara keseluruhan, hasilnya adalah sebagai berikut:
Bila tunjangan perumahan yang diberikan sebesar Rp50 juta maka anggaran yang dibutuhkan: 580 x Rp50 juta x 60 bulan = Rp 1,74 triliun
Sementara bila tunjangan yang diberikan sebesar Rp70 juta maka anggaran yang disiapkan : 580 x Rp70 juta x 60 bulan = Rp2,43 triliun
Artinya, jika kebijakan ini diterapkan, potensi pemborosan anggaran diperkirakan mencapai sekitar Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun dalam lima tahun ke depan.
Angka ini diperoleh dari selisih antara tunjangan yang diterima oleh anggota DPR selama lima tahun dengan biaya perbaikan rumah jabatan melalui mekanisme pengadaan.
Sebelumnya juga, Sekretaris Jenderal DPR menyatakan bahwa tunjangan tersebut diberikan untuk memberikan fleksibilitas kepada anggota dewan dalam memilih dan mengelola rumah dinas mereka sendiri.
Namun, perlu diingat bahwa fasilitas rumah dinas DPR pada dasarnya dimaksudkan untuk mendukung kinerja para anggota dewan.
Pengalihan fasilitas rumah dinas menjadi tunjangan perumahan dinilai akan sulit diawasi dalam penggunaannya untuk keperluan yang sesuai.
Terlebih, tunjangan tersebut disalurkan langsung ke rekening pribadi masing-masing anggota dewan.
"Minimnya akses pengawasan ini berpotensi menyebabkan pemborosan anggaran dan penyalahgunaan," ujar ICW.
ICW mendesak Sekjen DPR untuk mencabut surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024 yang mencakup pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR.
Mereka menilai bahwa sebaiknya anggota DPR tetap menggunakan rumah dinas tanpa tunjangan perumahan.
Selain itu, ICW meminta Sekretaris Jenderal DPR untuk memperbaiki rumah dinas yang rusak dengan proses pengadaan yang transparan dan akuntabel.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai bahwa kritik publik terhadap kebijakan pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR RI periode 2024-2029 adalah hal yang wajar.
Menurutnya, lebih tepat jika para anggota DPR memanfaatkan rumah dinas yang telah disediakan, daripada menerima uang tunjangan yang mencapai sekitar Rp 50-70 juta per bulan.
Ujang berpendapat, dari segi etika dan kelayakan, para anggota dewan sebaiknya menempati rumah dinas tersebut agar fasilitas yang ada tidak terbuang sia-sia.
"Seharusnya rumah yang sudah disediakan itu ditempati saja. Jangan sampai mubazir, rumah dibangun tetapi tidak dihuni, lalu malah diberikan tunjangan Rp 50 juta per bulan," ujarnya saat dihubungi, Kamis (11/10/2024).
Ia menambahkan, kondisi tersebut tentu memicu protes dari masyarakat, terutama di saat banyak warga yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok dan banyak yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Tiba-tiba, anggota DPR baru malah mendapatkan tunjangan Rp 50-70 juta per bulan,” jelas Ujang.
Mengenai alasan rumah dinas yang tidak lagi layak digunakan akibat adanya rayap dan tikus, Ujang menilai masalah tersebut seharusnya dapat diselesaikan tanpa perlu kebijakan tunjangan yang besar.
Oleh karena itu, Ujang menyarankan agar DPR mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut jika tidak mendapat dukungan dari masyarakat.
"Masalah seperti rayap bisa diatasi dengan obat tertentu. Masa rumah yang bagus bisa rusak hanya karena rayap. Apapun alasannya, seharusnya mereka mendapatkan izin dari masyarakat," tutupnya.