PARBOABOA, Jakarta - Di bulan Februari tahun 2020 yang lalu, wacana legalisasi ganja di Indonesia sempat mencuat.
Kala itu, anggota DPR RI dari Dapil 1 Aceh, Rafli mengusulkan, sudah saatnya ganja, terutama ganja Aceh dibudidaya serta dimanfaatkan.
Kata dia, legalisasi ganja sangat menjanjikan karena bisa menopang bahan baku kebutuhan medis berkualitas ekspor.
Tak hanya itu, menurutnya ganja punya banyak manfaat yang sudah terbukti serta memiliki potensi untuk mendatangkan pemasukan.
Dalam rangka itu, Rafli meminta pemerintah dan juga masyarakat, "agar tidak terlalu kaku soal ganja."
Dari aspek kesehatan, Lingkar Ganja Nusantara (LGN) memang pernah mengusulkan penelitian tentang potensi ganja untuk mengobati diabetes pada 2014, terinspirasi dari studi Lola Weiss di Hadassah University Hospital, Israel, pada 2006.
Studi tersebut menunjukkan bahwa kandungan cannabinoid pada ganja berpotensi menekan kasus diabetes.
Pada Januari 2015, usulan LGN mendapat tanggapan positif dari Menteri Kesehatan saat itu, Nila F. Moeloek.
Melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, disetujui bahwa penelitian dapat dilanjutkan dengan syarat dilakukan di laboratorium pemerintah. Sayangnya, pelaksanaan penelitian ini tertunda karena terkendala biaya dan rendahnya prioritas.
Di dunia, manfaat medis ganja sebenarnya sudah mulai diakui di berbagai negara. National Cancer Institute di AS menemukan bahwa cannabinoid dapat membantu mengurangi efek samping kemoterapi pada pasien kanker.
Selain itu, industri ganja medis memiliki potensi ekonomi besar. Menurut Grand View Research, sektor medis menyumbang 71% dari pendapatan industri ganja global pada 2019 dan diperkirakan akan tumbuh hingga $73,6 miliar pada 2027.
Beberapa negara telah melegalkan ganja untuk kepentingan kesehatan adalah Inggris dan Thailand.
Sementara itu, Di AS, Negara Bagian California telah mengizinkan penggunaan ganja untuk rekreasi bagi orang dewasa. Pada 2018, negara itu berhasil mengumpulkan pajak penjualan ganja sebesar US$345 juta (sekitar Rp 4,7 triliun).
Contoh lain datang dari Kota Pueblo di Colorado, yang berhasil bangkit dari krisis ekonomi setelah jatuhnya industri besi, berkat pendapatan dari industri ganja.
Belanda juga memanfaatkan legalisasi ganja medis dengan memonopoli pasokan untuk perusahaan farmasi dan mengekspor ganja ke berbagai negara Eropa, memberikan keuntungan besar bagi ekonomi mereka.
Selain bisa menopang aspek kesehatan dan ekonomi, di Indonesia, legalisasi ganja juga dinilai bisa menekan kelebihan kapasitas atau overcrowding penjara, yang salah satu penyebabnya adalah tingginya kasus narkotika pengguna ganja.
Bahkan di dalam negeri, pelanggaran ringan seperti kepemilikan, penggunaan, atau transaksi kecil ganja masih sering diproses secara hukum.
Pada Februari 2020, misalnya, Mahkamah Agung mencatat 140.427 perkara narkotika, menjadikannya jenis kasus pidana terbanyak di Indonesia, diikuti oleh kasus pencurian (103.490) dan penghinaan (46.418). Banyaknya perkara membuat proses peradilan semakin berat dan berpotensi menurunkan kualitas putusan.
Penjara juga kewalahan menampung narapidana. Pada 2018, jumlah penghuni lapas mencapai 266.000 orang, padahal kapasitas yang tersedia hanya 126.000. Kasus narkotika berkontribusi signifikan terhadap kelebihan kapasitas ini, memperburuk beban negara.
Pada 2020, Kementerian Hukum dan HAM bahkan mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 3 triliun, sebagian besar untuk operasional dan pembangunan lapas baru.
Karena itu, banyak pihak menilai dekriminalisasi ganja bisa menjadi solusi untuk masalah ini. Dengan regulasi dan pengawasan yang tepat, pengguna dan pelaku pelanggaran kecil tidak perlu lagi dipenjara, sehingga pengadilan dapat fokus menangani kasus narkotika yang lebih serius.
Pengawasan juga bisa difokuskan pada peredaran ganja dalam skala besar, yang berdampak lebih merugikan bagi negara secara ekonomi dan sosial.
Status dan sejarah Ganja di Indonesia
Terlepas dari banyaknya manfaat legalisasi ganja, di Indonesia saat ini, pemerintah masih melarang pembudidayaan, penggunaan, dan peredarannya.
Ganja masih digolongkan sebagai narkotika Golongan I, yang berarti tidak diizinkan untuk keperluan medis dan dianggap memiliki potensi ketergantungan tinggi.
Sebagian masyarakat Indonesia juga percaya bahwa ganja membawa dampak negatif, seperti kecanduan dan perilaku buruk.
Karena statusnya sebagai narkotika Golongan I, pengguna ganja dalam negeri menghadapi ancaman hukuman berat, setara dengan pengguna sabu, yaitu hingga 4 tahun penjara. Sementara itu, pengguna narkotika lain seperti morfin hanya diancam hukuman maksimal 2 tahun penjara.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Komjen Polisi Marthinus Hukom belum lama ini kembali menegaskan, lembaga yang dipimpinnya tidak mendukung legalisasi ganja untuk kepentingan kesehatan atau pengobatan.
Menurutnya, masih ada alternatif pengobatan lain tanpa harus menggunakan ganja. Ia juga khawatir potensi penyalahgunaan legalisasi tersebut untuk kepentingan pribadi dengan dalih medis, mengingat ganja adalah narkotika Golongan I.
"Apakah tidak ada cara pengobatan lain selain menggunakan ganja," tegasnya bertanya kepada mereka yang ingin melegalkan obat terlarang tersebut.
Marthinus mengingatkan bahwa konsumsi ganja dapat memicu berbagai masalah kesehatan, seperti gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, hingga gangguan mental dan syaraf. Selain itu, BNN menilai bahwa legalisasi ganja justru dapat memicu kerusakan sosial yang lebih besar di masyarakat Indonesia.
Sebagai gantinya, pihaknya kata dia, mendorong pencarian solusi pengobatan tanpa melibatkan ganja sebagai pilihan utama.
Sikap ini sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan Pipit Sri Hartanti dan Supardji untuk mengubah aturan larangan ganja.
Permohonan tersebut diajukan atas nama anak mereka, Shita Aske Paramitha, yang mengidap cerebral palsy, sebagai upaya untuk membuka akses pengobatan menggunakan ganja medis.
Untuk diketahui, ganja telah digunakan di Nusantara sejak masa kerajaan untuk kepentingan ritual, pengobatan, dan perdagangan.
Walau tidak ada catatan pasti tentang awal mula masuknya ganja, beberapa sumber menunjukkan bahwa ganja mungkin dibawa oleh pedagang Gujarat dari India pada abad ke-14 dan digunakan sebagai alat barter dengan rempah-rempah seperti cengkeh, kopi, dan lada.
Penggunaan ganja berkembang di berbagai daerah, terutama di Aceh, yang menjadi pusat pemanfaatan ganja dalam pengobatan tradisional, masakan, dan pertanian.
Kitab kuno Tajul Muluk, yang dibawa pedagang Persia dan Turki, mencatat penggunaan ganja sebagai obat untuk diabetes dan bumbu masakan seperti kari dan kuah beulangong. Ganja juga digunakan dalam campuran kopi dan sebagai pengusir hama di sawah.
Di Maluku, ahli botani G.E. Rumphius mencatat, pada 1741 ganja dimanfaatkan untuk pengobatan dan ritual. Orang Maluku menggunakan daun ganja untuk membuat teh yang membantu mengatasi gangguan pernapasan dan sakit dada, serta akar ganja untuk mengobati gonore.
Hingga akhir abad ke-19, ganja masih dipromosikan di Hindia Belanda sebagai obat untuk asma dan masalah pernapasan. Namun, pada 1927, Belanda mulai membatasi akses ganja mengikuti Konvensi Opium Internasional 1925, dan ganja pun diatur dengan ketat.
Pada abad ke-20, politik rasial dan kepentingan ekonomi di Amerika Serikat semakin memperburuk stigma ganja. Imigran Meksiko yang menggunakan ganja disudutkan melalui kampanye hitam, sementara industri plastik sintetis di AS mendorong larangan serat ganja untuk menguntungkan bisnis mereka.
Larangan ini berujung pada Konvensi Tunggal Narkotika 1961 yang menyamakan ganja dengan opium dan kokain. Indonesia meratifikasi konvensi ini pada 1976, tanpa mempertimbangkan sejarah panjang ganja dalam budaya lokal.
Sejak itu, media dan kebijakan di Indonesia bergeser, menggambarkan ganja sebagai ancaman bagi masyarakat, dan aparat keamanan menerapkan tindakan keras terhadap pengguna dan pengedarnya.
Transformasi ganja dari komoditas yang bermanfaat menjadi barang terlarang tidak hanya menghapus sejarah panjangnya di Nusantara, tetapi juga menciptakan persepsi negatif yang masih bertahan hingga kini.