parboaboa

Duka Warga di Bantaran Sungai Deli: Tiap Tahun Berjibaku Melawan Banjir

Ghiyatuddin Yauzar | Daerah | 26-02-2024

Penampakan warga melintasi banjir di gang Merdeka pada 2022 lalu. (Foto: PARBOABOA/Ghiyatuddin Yauzar)

PARBOABOA - Pagi itu, awal November lalu, Dahlia (35) tengah sibuk menyiapkan beberapa menu makanan jualannya. Suasana mendadak kacau ketika air setinggi betis mulai masuk ke pekarangan rumah. 

Dahlia bergegas menyelamatkan sejumlah dokumen penting keluarga. Perabot elektronik dipindahkannya ke loteng. Ia lalu berlari menuju kamar dan menggendong anaknya yang masih tertidur pulas.

Dahlia berjualan sembari menceritakan pengalaman banjir saat melanda rumahnya pada Sabtu (20/01/2024). (Foto: PARBOABOA/Ghiyatuddin Yauzar)

Saat itu, Dahlia hanya seorang diri. Dua putrinya masih berada di sekolah. Sementara sang suami yang bekerja serabutan sudah meninggalkan rumah sejak subuh. 

Hanya dalam sekejap, luapan air dari arah sungai yang hanya berjarak 150 meter dari kediamannya menghanyutkan seisi rumah, termasuk barang dagangannya.

"Dahsyat kali banjirnya padahal saya baru buka jualan, modal awak habis, rugilah,” cerita Dahlia kepada PARBOBOA awal pekan lalu.

Hujan deras yang mengguyur Kota Medan sepanjang malam membuat aliran sungai Deli meluap. Pemukiman warga di bantaran sungai pun ikut terkena imbas, termasuk tempat tinggal Dahlia di Gang Merdeka, Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun.

Ini bukan baru pertama terjadi. Pada 2020 silam, kenang Dahlia, banjir bandang juga pernah menghantam rumah-rumah warga. Selama lebih sepekan mereka dibikin kelimpungan.

“Waktu itu ada dapur umum yang kami perlukan, ada juga cina -cina itu yang ngasih kami baju karena waktu itu baju kami tenggelam semua tidak bisa dipakai,” kenang Dahlia.

Peristiwa itu kadang membuat ia cemas kala musim hujan tiba. Apalagi jika terjadi di malam hari, Dahlia dan semua penghuni rumah harus mulai berjaga-jaga.

Kondisi Sungai Deli saat meluap pada 2023 lalu. (Foto: PARBOBOA/Ghiyatuddin Yauzar)

Bagi warga di bantaran Sungai Deli, banjir bandang seakan menjadi pemandangan lumrah. Mereka mengalaminya hampir setiap tahun dengan skala luapan air yang berbeda.

"Kalau hujan kami uda siap siaga, kalau banjir itu gak nentu bisa datang saat siang bisa juga malam," katanya.

Dahlia mengaku, efek banjir memang begitu terasa. Dinding rumahnya mulai terlihat bolong. Beberapa kayu penyangga rumah juga ikut lapuk setelah sering terendam banjir.

Ia terpaksa memilih bertahan meski dengan kondisi rumah yang tak layak huni. Omset harian yang cekak sebagai penjual makanan tak cukup untuk merenovasi rumah. 

Belum lagi harus menyisihkan uang untuk biaya sekolah anak-anaknya. Sementara sang suami hanya bekerja serabutan. 

"Biasanya kami biarkan dululah nanti kalau ada uang baru kita sisipkan untuk renovasi kalau enggak ada yang mau gimana lagi," ungkapnya.

Dahlia tak bisa berharap banyak dengan bantuan pemerintah. Ia dan sejumlah warga lain hanya mengandalkan sumbangan dari masyarakat sekitar.

"Kalau bantuan dari pemerintah gak ada ya, paling dari masyarakat kadang minta-minta sumbanganlah di pasar," katanya.

Dampak banjir di wilayah bantaran Sungai Deli juga dirasakan Sahroni Pulungan (81). Ia bahkan mengalaminya sejak puluhan tahun lalu.

Hanya saja, skala banjir saat itu tidak seperti yang terjadi sekarang. Banjir bandang dengan skala besar hanya terjadi dalam kurun waktu 10 tahun sekali.

"Kira kira 1956 kami waktu itu di atas lagi tinggal, adalah banjir besar di sini sehingga kalau lantai ini tenggelam sampai 4 meter," ungkap Sahroni kepada PARBOABOA.

Sahroni saat memperlihatkan pelampung dan lantai 2 rumahnya sebagai tempat evakuasi jika banjir datang, Sabtu (20/01/2024). (Foto: PARBOABOA/Ghiyatuddin Yauzar)

Intensitas banjir, kata dia, mulai berubah pada tahun 1980-an. Warga bantaran sungai Deli bisa tiga kali mengalami banjir dalam setahun.

Sahroni menduga, ulah sekelompok orang tak bertanggungjawab yang menebang pohon di puncak gunung, menjadi salah satu pemicu banjir semakin sering terjadi.

Sependek ingatannya, salah satu banjir bandang dengan skala besar terjadi pada 2011 silam. Saat itu, ketinggian air yang mencapai 20 cm menenggelamkan hampir seluruh rumah warga.

Ia banyak mengalami kerugian. Bangunan rumahnya sempat tumbang lantaran tak mampu menahan aliran air yang cukup deras.

"Dari lantai loteng itu kira-kira ketinggian airnya itu kira-kira satu keping papan," kenang Sahroni.

Kondisi ini bikin Sahroni pening. Hampir setiap tahun ia harus berhadapan dengan masalah serupa. Lelaki yang kini memasuki usia senja itu terpaksa harus pandai-pandai mengatur keuangan.

Sharoni harus menyisihkan sebagian pendapatannya untuk merenovasi rumah. Itu pun hanya dipoles seadanya. Pondasi rumahnya tidak menggunakan rangka besi.

"Jadi kalau banjir terasa goyang. Itu yang sangat saya khawatirkan takutnya hancur karena arus banjir itu," ujarnya.

Keinginannya untuk pindah dari pemukiman tersebut sudah muncul sejak lama. Ia mengaku sudah lelah berjibaku dengan problem yang sama setiap tahun.

Sahroni sempat mendengar rencana relokasi dari Pemerintah Kota Medan. Katanya untuk meminimalisir resiko yang lebih besar bagi warga di bantaran sungai. Namun hingga kini, ia belum juga mendapatkan kepastian. 

"Kalau untuk relokasi itu kabar angin saja, kalau lah misalkan benar adanya relokasi itu mau juga saya, lebih bagus saya pindah daripada tetap di sini,' ujarnya.

Menurutnya, kesepakatan soal harga ganti rugi antara pemerintah dan warga masih menjadi kendala. Pemerintah, kata dia, perlu mengakomodir apa yang menjadi permintaan warga.

"Gimana permintaan warga sini terkait harga, ya saya pun segitu jugalah, kalau saya kemarin mintanya 10 juta per meter," tegasnya.

Normalisasi Sungai Deli Dikritik

Skema normalisasi sungai dalam penanganan banjir memang menjadi fokus  perhatian Pemerintah Kota Medan, termasuk Sungai Deli. 

Hal ini sejalan dengan salah satu program prioritas Wali Kota Medan, Bobby Afif Nasution, yang ingin membuat Kota Medan bebas banjir.

Selepas banjir bandang pada September lalu, Pemko Medan melakukan normalisasi Sungai Deli dengan menggandeng Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera II dan TNI AD.

Normalisasi sepanjang 32 meter dilakukan mulai dari muara hingga Bendung Sungai Deli, dalam waktu 63 hari kerja, dimulai pada 27 September dan berakhir pada 22 Desember 2023.

Total jumlah sampah yang berhasil dibersihkan di seluruh sektor mencapai 75.188 meter kubik atau sekitar 26.552 ton, dan sedimentasi yang diangkut sebanyak 23.705 meter kubik. Mereka juga melakukan pelebaran sepanjang dua meter.

Aron Marpaung, Kepala Sub Bagian (Kasubag) Tata Usaha BWS Sumatera II, menyebut upaya normalisasi ini menjadi salah satu strategi yang dilakukan untuk meminimalisir banjir di bantaran Sungai Deli.

Menurutnya, daya tampung Sungai Deli untuk debit banjir kala ulang 25 tahun yang dialirkan dari Bendung Sungai Deli sebesar 230-462 m³/detik.

Sementara kondisi Sungai Deli saat ini, daya tampung airnya berkurang 10 hingga 18 persen akibat pendangkalan sungai. Hal ini yang menyebabkan air di Sungai Deli meluap ke jalan hingga pemukiman warga.

"Kapasitas tampung Sungai Deli harus selalu tetap dijaga," kata Aron kepada PARBOBOA melalui wawancara tertulis pada Selasa (06/02/2024). 

Dalam pemetaan BWS Sumatera II, kata dia, penyempitan dan pendakalan di Sungai Deli yang menjadi salah satu pemicu banjir disebabkan oleh beragam faktor.

"Kondisi sungai dipengaruhi oleh kondisi aliran, proses angkutan sedimen, lingkungan dan aktivitas manusia di sekitarnya dari hulu hingga hilir," katanya.

Upaya normalisasi Sungai Deli rupanya belum memberikan efek signifikan dalam penanganan banjir. Warga di bantaran sungai nyatanya masih mengeluh. Iwa (52) salah satunya.

Warga gang Merdeka itu mengatakan, normalisasi sungai yang dikerjakan Pemerintah Kota Medan  malah dikhawatirkan akan mempercepat terjadinya erosi. Pohon-pohon yang berada di pinggir Sungai Deli dibabat habis. 

Tak hanya itu, normalisasi juga berdampak pada naiknya lumpur bercampur pasir ke pemukiman warga. Endapan pasir bercampur lumpur dari sungai Deli mengalir naik lewat aliran parit yang terhubung ke rumahnya.

Hal ini, kata dia,  membuat akses jalan tertutup lantaran dipenuhi tumpukkan lumpur dan air yang tergenang. 

”Semenjak dibersihkan dampaknya ke kami, lihat itu lumpur campur pasir naik ke halaman rumah, mau lewat pun susah,” kata Iwa sambil menunjukkan tumpukkan lumpur di kediamannya kepada PARBOBOA, Kamis (11/02/2024). 

Kondisi rumah warga gang Merdeka saat banjir pada 2022 lalu. (Foto: PARBOABOA/Ghiyatuddin Yauzar)

Normalisasi Sungai Deli juga mendapat kritikan tajam dari Pakar Tata Kota, Jaya Arjuna. Menurutnya, skema yang dilakukan Pemko Medan justru tidak akan menyelesaikan masalah banjir.

"Dikorek sana sini enggak betul lagi, entah apa-apapun yang dibuatnya," jelas Arjuna kepada PARBOBOA, Senin (5/2/2024).

Arjuna menuding, Pemko Medan sebetulnya tidak mempunyai pemahaman yang utuh soal konsep normalisasi sungai. Mereka cenderung sibuk mempreteli bagian luar sungai tanpa memperhatikan strategi penanganan jangka panjang.

Padahal, kata dia, normalisasi sungai itu dimaksudkan untuk mengembalikan sungai ke kondisi normal. Artinya, yang perlu dilakukan pemerintah adalah pengerukan untuk mengembalikan kedalaman sungai.

"Harus dikorek di bawah, kembalikan sungai itu kondisi normalnya, 12 meter kedalaman sungai, kembali normalnya,” ucap Jaya Arjuna.

Dalam bacaannya, program normalisasi yang dicanangkan pemerintah tak lepas dari kalkulasi untung rugi. Pemerintah tidak murni mengatasi banjir, melainkan hanya mencari keuntungan semata.

Jika pemerintah serius, maka yang difokuskan adalah melakukan pengerukkan ke dalam, bukan malah melakukan pelebaran. Karena menurutnya pemukiman warga di bantaran sungai bakal tergusur. 

“Makanya kenapa ada pengorekan di kanan dan di kiri supaya ada nanti yang namanya ganti rugi. Jadi di setiap ada nominal ada yang namanya uang ganti rugi pasti ada yang namanya korupsi, ujungnya itu,” tegas Jaya.

Jaya juga menyoroti kondisi peralatan berat yang digunakan Pemko Medan dalam mengatasi banjir. Menurutnya, pemerintah perlu menyediakan alat berat yang didukung teknologi mumpuni untuk memudahkan pembenahan sungai.

Bagi Jaya, kualitas alat berat dengan teknologi tinggi juga menentukan efektifitas pembenahan sungai. Sebab, dengan alat yang seadanya, tentu akan berdampak pada kualitas pengerjaan.

“Sebaiknya alat-alat yang digunakan harus didukung oleh teknologi,” ungkapnya.

Sementara itu, Wali Kota Medan, Bobby Nasution, enggan berkomentar banyak terkait beragam kritikan terhadap program normalisasi Sungai Deli. 

Ia memang mengakui masih banyak yang perlu dibenahi. Hal itu nantinya akan menjadi tanggung jawab Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga dan Bina Konstruksi (SDABM BK).

“Normalisasi sudah kita tutup. Seperti yang kita sampaikan kemarin itu kita lakukan tahap awal, memang masih ada PRnya sedikit dari Dinas SDABM BK, jadi dilanjutkan,” kata Bobby saat ditemui PARBOABOA usai kegiatan peletakan batu pertama renovasi stadion teladan, Selasa (06/02/2024).  

Bobby juga mengkonfirmasi soal wacana pembangunan rumah susun yang sempat disentil warga di bantaran sungai Deli.  

Pembangunan rumah susun, kata dia, menjadi salah satu program Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR RI).

“Tetapi di Belawan bukan di permukiman bantaran sungai Deli,” kata Bobby.

Editor : Andy Tandang

Tag : #Sungai Deli    #Banjir Bandang    #Daerah    #Medan    #Normalisasi Sungai Deli    #Berita Sumut   

BACA JUGA

BERITA TERBARU