parboaboa

Pekerja Media di Ambang Eksploitasi dan Ketidakpastian Kerja

Atikah Nurul Ummah | Nasional | 31-01-2024

Penelitian dari AJI Indonesia mengungkap pada 2023, sekitar 32,8% dari 428 jurnalis, bekerja tanpa perjanjian kerja. (Foto: PARBOABOA/Atikah Nurul Ummah)

PARBOABOA, Jakarta - Di tengah perkembangan industri media yang pesat, para pekerja media di Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang merugikan mereka. 

Hasil penelitian AJI Indonesia pada 2023 menunjukkan, sekitar 32,8% dari 428 jurnalis, bekerja tanpa perjanjian kerja yang jelas. 

Lebih lanjut, penelitian itu juga mengungkapkan 35% jurnalis mengalami tekanan mental ketika bekerja dan hampir mendekati tingkat depresi. 

Menurut Citra Maudy, seorang peneliti media, pekerja media sering kali berjuang dengan upah yang rendah, jam kerja yang tidak menentu, dan ketiadaan jaminan kesehatan. 

Situasi ini diperparah dengan adanya UU Omnibuslaw yang membuat banyak pekerja media bekerja tanpa kontrak yang jelas, atau bahkan tanpa kontrak sama sekali.

“Dampak dari UU Omnibuslaw, banyak pekerja media yang dikontrak secara main-main. Bahkan, gak dikontrak sekalipun,” ujarnya dalam sebuah diskusi peluncuran Catatan Tahunan AJI Indonesia pada Rabu (31/1/2024). 

Citra menyebut, banyak jurnalis mengalami tekanan mental karena lingkungan kerja yang tidak mendukung.

“Banyak jurnalis mengalami tekanan mental atau setidaknya mulai berkonsultasi dengan psikiater lantaran tuntutan kerjanya yang tinggi dan lingkungan kerja yang tidak memungkinkan dia untuk berbagi dengan teman kerjanya,” jelasnya 

Model Bisnis Media by Klik Merugikan Pekerja 

Di sisi lain, Ika Idris, Dosen Media dari Monash University, menyoroti model bisnis media yang bergantung pada iklan. 

Model ini sering kali menggunakan sistem sharing ekonomi, di mana upah pekerja dihasilkan dari jumlah klik pada berita yang mereka buat. 

Hal ini mendorong perekrutan content creator dalam jumlah besar untuk menghasilkan banyak berita, seringkali tanpa mematuhi prinsip-prinsip jurnalistik yang tepat.

“Hal itu karena, misalnya satu orang diwajibkan membuat berita yang banyak sekali, akhirnya tidak ada verifikasi,” jelasnya.

Tugas yang begitu banyak ini, menurut Ika, akan menimbulkan perbudakan modern lantaran perusahaan tidak menetapkan upah pokok, hanya berdasarkan klik.

“Akhirnya creatornya tidak ada gaji pokok, tidak ada asuransi kesehatan, jadi hanya berdasarkan klik. Kalau sakit, yauda gak ada penghasilan,” ujar Ika.

Editor : Atikah Nurul Ummah

Tag : #kebebasan pers    #upah murah    #nasional    #phk massal    #kerentanan jurnalis   

BACA JUGA

BERITA TERBARU