parboaboa

Melihat Kawasan Ruang Terbuka Publik Pantai Bebas Parapat, Kearifan Lokal Diabaikan?

Janaek Simarmata | Daerah | 10-01-2024

Patung dan tiang yang menggambarkan identitas Simalungun di RTP Pantai Bebas Parapat. (Foto: PARBOABOA/Janaek Simarmata)

PARBOABOA, Pematang Siantar - Pantai Bebas Parapat di Sumatra Utara (Sumut) telah menjadi ikon keindahan panorama Danau Toba. 

Dengan dipromosikannya Kawasan Ruang Terbuka Publik (RTP) sebagai destinasi unggulan, para pengunjung lokal maupun mancanegara diharapkan dapat menikmati pengalaman wisata yang tak terlupakan.

Sayangnya, meskipun fasilitas yang disediakan mencakup berbagai kegiatan seperti bermain, olahraga, dan amphitheatre, beberapa pengunjung merasa bahwa pengelolaan tempat wisata ini belum sepenuhnya memanfaatkan kearifan lokal.

Menurut Rizal Fernando (27) dari Pekanbaru, salah satu aspek yang perlu diperbaiki adalah penawaran kuliner dan souvenir. 

Ia menyatakan bahwa makanan dan cemilan yang ditawarkan kurang mencerminkan kekayaan budaya Simalungun. 

“Aksesoris dan pakaian ada, tapi makanan dan cemilan biasa saja, banyak yang sama dengan daerah saya,” ujarnya kepada PARBOABOA, Senin (8/1/2023).

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Yuni, wisatawan asal Pematang Siantar, yang merasa bahwa kawasan RTP terlalu modern sehingga kehilangan karakteristik Simalungun.

Baginya, jika tujuan utama adalah melihat Danau Toba, RTP bukanlah pilihan terbaik.  Dia lebih menyarankan beberapa lokasi lain yang menawarkan pengalaman yang lebih autentik, seperti warung dengan pemandangan Batu Gantung.

"Di panatapan sebelum sampai ke RTP, ada warung yang menawarkan pemandangan danau Toba dan terlihat lokasi Batu Gantung. Lokasi itu menjadi salah satu tempat favorit saya," ujarnya.

Tidak hanya itu, komentar yang sama juga terdengar dari anggota pengawas RTP, Roy Damanik. Ia berpendapat bahwa warga lokal perlu meningkatkan kreativitas terutama pada dagangannya.

“Semoga warga lokal disini lebih kreatif untuk mengembangkan RTP ini,” ujar Roy.

Menyikapi kritik tersebut, Rade Mutiara Sirait, penjual aksesoris di RTP, mengakui bahwa memang ada sedikit barang dengan sentuhan Simalungun. 

Alasannya adalah kurangnya pengrajin aksesoris dengan keahlian khas Simalungun. Meski begitu, Rade menegaskan bahwa beberapa produk, seperti tas kecil dari tenun ulos Simalungun dan sortali, tetap tersedia. 

“Kami memang tidak dituntut harus jual barang seperti apa, hanya saja tidak boleh sama dengan pedagang lainnya,” jelas Rade.

Kebebasan dalam penentuan jenis barang yang dijual juga diakui oleh Syahfitri Siregar (28), seorang pedagang cemilan di RTP. Ia lebih memilih berjualan telur gulung karena makanan tersebut sudah umum dan banyak yang mengenal rasanya. 

“Kalau makanan umum sudah pasti laku, sementara cemilan khas Simalungun itu kebanyakan tidak tahan lama, sehingga ketika tidak habis satu hari takutnya basi dan tidak dapat dijual lagi besok,” ungkapnya.

Hal ini dibenarkan oleh Dian Pratiwi, Kepala Bidang Pengembangan Pariwisata Simalungun. Penjualan di RTP memang sesuai dengan kreativitas pedagang.

Meski begitu, jika terdapat acara budaya di RTP, seperti pada November 2023 lalu, nuansa kearifan lokal akan sangat diutamakan.

“Untuk sovenir menjual berbagai handy craft, wastra, hiou Simalungun dan kulinernya ada kopi Simalungun dan barista nya disana,” tegas Dian.

Sementara itu, Siridana Sidauruk, Kepala Bidang UMKM di Kabupaten Simalungun, mengungkapkan kekecewaannya atas kurangnya penjualan kuliner lokal di RTP Pantai Bebas Parapat.

Kuliner khas Simalungun seperti nitak Simalungun dan dayok nabinatur (olahan ayam kampung), yang kaya rasa dan tradisi, seharusnya bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Sayangnya, ketiadaan pasar yang efektif membuat produk-produk ini kurang laris.

“Siapa yang membalikkan modal mereka kalau jualannya tidak laku,” ujarnya.

Pengenalan produk lokal lainnya, seperti Kopi Simalungun, juga tidak berjalan mulus. Meskipun telah diperkenalkan lengkap dengan barista, antusiasme pengunjung terhadap kopi khas Simalungun ini ternyata biasa saja. Sebaliknya, kopi Sidikalang lebih dikenal di kalangan mereka.

Di sisi lain, tantangan juga datang dari Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum optimal. 

Menurut Siridina, meskipun telah diberikan bantuan pelatihan untuk pembentukan produk, manajemen pemasaran, dan strategi branding, tetapi SDM masih kurang peka dan belum memahami sepenuhnya.

“Pernah kami kasih bantuan, untuk pelatihan pembentukan produk, manajemen pemasaran, strategi branding. Tetapi masih kurang memahami,” ungkap Siridina.

Kendati demikian, usaha untuk mendukung pariwisata dengan nuansa Simalungun terus berlangsung. 

“Kami sudah berupaya dari segi UMKM agar mendukung pariwisata tersebut bernuansa Simalungun,” tutup Siridina.

Editor : Wenti Ayu

Tag : #pantai bebas parapat    #danau toba    #daerah    #berita sumut    #kearifan lokal   

BACA JUGA

BERITA TERBARU