PARBOABOA, Jakarta - Anak muda menjadi salah satu kelompok dominan dalam pemilihan umum (pemilu) serentak 2024 mendatang.
Suara mereka dianggap punya kontribusi besar sebagai penentu kemajuan dan masa depan bangsa.
Hal tersebut tentu erat kaitannya dengan antusiasme mereka menggunakan hak pilih pada kontestasi politik lima tahunan itu.
Merujuk daftar pemilih tetap (DPT) yang dilansir Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada awal Juli lalu, mayoritas pemilih pada Pemilu 2024 didominasi oleh generasi Z dan milenial.
Jumlah pemilih dari generasi Z mencapai 46.800.161 pemilih atau sebanyak 22,85 persen dari total 204.807.222 pemilih.
Sedangkan pemilih dari generasi milenial mencapai 66.822.389 atau 33,60 persen dari total DPT Pemilu 2024.
Jika diakumulasikan, total pemilih dari kelompok generasi Z dan generasi milenial berjumlah lebih dari 113 juta pemilih.
Artinya, kedua generasi ini mendominasi pada Pemilu 2024, yakni sebanyak 56,45 persen dari total keseluruhan DPT.
Dengan persentase yang tinggi tersebut, tingkat partisipasi mereka tentu menjadi sorotan, akankah seimbang atau sebaliknya malah menurun dan memilih golongan putih (golput).
Awal Juni lalu, Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, sempat menyerukan golput dalam Pemilu 2024 mendatang.
Said berdalih, tidak ada satupun calon presiden (capres) yang menyatakan ingin merevisi Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta kerja.
Padahal, kata Said, UU Cipta Kerja telah merugikan masyarakat khsususnya kaum buruh dan memberikan keuntungan bagi para pengusaha.
Karena itu, golput menjadi salah satu opsi yang akan diambil Partai Buruh sebagai bentuk perlawanan atas keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha.
Pada Maret 2023 lalu, sebuah spanduk bertuliskan ‘2024 Golput’ terbentang di jembatan penyeberangan Jalan Jenderal Basuki Rachmat, kawasan Kayutangan Heritage, Kota Malang.
Spanduk hitam yang dibubuhi tulisan berwarna putih itu bertuliskan “2024 Golput, Pilihan Realistis atas Matinya Keadilan +62”.
Pesan di balik tulisan pada spanduk seolah menyiratkan kekecewaan rakyat atas lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
Salah satu bukti lemahnya penegakan hukum yang tak akan pernah hilang dari memori warga Malang adalah Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 silam.
Insiden yang menewaskan ratusan nyawa itu dinilai tidak diproses hukum dengan adil, yang kemudian mendorong mereka untuk menyerukan golput.
Jajak pendapat Litbang Kompas pada 24 September hingga 7 Oktober 2022 lalu juga menunjukkan potensi golput yang cukup tinggi jika Pilpres 2024 hanya diikuti dua pasangan calon.
Potensi golput, merujuk survei tersebut, ada di kisaran 8,9 persen hingga 14,9 persen jika kontestasi perebutan kursi RI-1 hanya diikuti Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
Potensi itu bahkan meningkat menjadi 10,9 persen hingga 16,5 persen jika yang maju hanya Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
Begitupun yang terjadi ketika pertarungan Pilpres 2024 hanya hanya diikuti Prabowo Subianto dan Anies Baswedan, jumlahnya mencapai 12,2 persen hingga 17,8 persen.
Fenomena golput di setiap pemilu, khususnya pemilihan presiden, memang sulit dihindari. Bahkan secara historis, tidak ada partisipasi pemilu yang mampu menembus persentasi sempurna hingga 100 persen.
Analis politik Ujang Komarudian menilai, fenomena golput yang kerap terjadi pada setiap Pemilu mesti dilacak dalam kerangka trust publik terhadap para kandidat yang bertarung.
Karena itu, dalam konteks Pilpres, kata Ujang, membangun kepercayaan publik adalah kunci utama yang perlu dilakukan capres dan cawapres untuk meminimalisir golput.
"Kalau mau meminimalisir golput maka harus terbangun trust ya, membangun kepercayaan antara capres-cawapres dan pemilih. Kalau tidak ada kepercayaan atau keyakinan dari pemilih maka potensi golput itu akan tinggi," ungkap Ujang kepada PARBOBOA, Jumat 927/10/2023) malam.
Menurut Ujang, kepercayaan publik, khsususnya generasi Z dan milenial, hanya akan terbangun di atas gagasan yang kontekstual sesuai kebutuhan masyarakat.
Hal ini perlu dipertimbangkan oleh capres dan cawapres yang akan bertarung, mengingat, kedua generasi ini lebih cenderung memilih kandidat karena kalkulasi rasional.
"Jadi sejatinya, capres dan cawapres harus menawarkan visi-misi, program dan gagasan yang ril, yang nyata, yang bisa diimplementasikan dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat," kata Ujang.
Jika hal ini diabaikan, lanjut Ujang, tentu akan berdampak pada tingkat partisipasi mereka dalam menggunakan hak pilih secara konstitusional di pemilu nanti.
"Kalau hanya sekadar janji tanpa realisasi itu yang membuat masyarakat tidak percaya, yang membuat masyarakat ilfil dan antipati, yang membuat masyarakat enggan untuk memilih lagi," papar Ujang.
Karena itu, Ujang mendorong para kandidat capres dan cawapres untuk memetakan secara cermat gagasan keberpihakan yang menjadi narasi utama selama masa kampanye.
"Dalam konteks Pilpres 2024 saat ini, agar tidak golput, capres dan cawapres harus kreatif dan bisa meyakinkan publik, atau pemilih bahwa sejatinya soal Pilpres ini bagaimana mengubah nasib bangsa, bagaimana membangun bangsa," kata dosen Universitas Al-Azhar itu.
Dengan demikian, pemahaman kaum muda soal Pemilu akan terbentuk, bahwa "memilih ke tempat pemungutan suara (TPS) adalah salah satu kewajiban yang harus ditunaikan oleh warga negara, bukan hanya untuk mencari pemimpin terbaik tapi juga peduli terhadap nasib pembangunan bangsa."
Pemetaaan Strategi yang Relevan
Sementara itu, politisi muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Juventus Prima Yoris Kago mengatakan, para kandidat perlu memahami dan mengadopsi strategi yang relevan dengan generasi Z dan milenial untuk meminimalisir golput di pemilu mendatang, khususnya Pilpres 2024.
"Mereka adalah kelompok pemilih yang besar dan berpengaruh, dan untuk meminimalisir golput, para kandidat perlu memetakan strategi yang tepat," kata Juventus kepada PARBOABOA, Jumat (27/20/2023).
Menurut Juventus, ada beberapa hal krusial yang secara umum menjadi pertimbangan kaum muda dalam menentukan pilihannya, yang setidaknya bisa menekan angka golput.
Salah satu yang disoroti generasi Z dan milenial adalah isu ekonomi. Menurut Juventus, generasi milenial cenderung peduli dengan persoalan ekonomi, khsususnya yang menyentuh kehidupan rakyat kecil.
Para kandidat yang memiliki gagasan ekonomi berkelanjutan akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi kaum muda sebelum menentukan pilihan politiknya.
"Termasuk kebijakan untuk menciptakan lapangan kerja, mengatasi pengangguran, dan mengurangi disparitas ekonomi," kata Juventus.
Selain itu, kata Juventus, generasi Z dan kaum milenial juga cukup sering menyoroti isu pendidikan dan akses terhadap pelatihan keterampilan, karena bersentuhan langsung dengan kehidupan mereka.
"Mereka mencari pemimpin yang mendukung pendidikan berkualitas, akses terhadap pendidikan tinggi, serta pelatihan keterampilan yang relevan dengan pasar kerja," kata dia.
Isu lingkungan dan perubahan iklim juga menjadi atensi mayoritas kalangan generasi Z dan milenial.
Juventus menjelaskan, kedua kelompok ini memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi. Kandidat yang menjadikan isu lingkungan sebagai salah satu gagasan prioritas, tentu bakal berpeluang mempengaruhi pilihan mereka.
"Kaum muda cenderung memperhatikan calon presiden dan wakil presiden yang memiliki komitmen kuat terhadap isu lingkungan dan upaya untuk mengatasi perubahan iklim," papar Juventus.
Selain isu lingkungan dan perubahan iklim, persoalan kesehatan dan akses ke layanan kesehatan, juga menjadi agenda pembahasan kaum muda saat ini.
Karena itu, kata dia, generasi Z dan milenial akan menentukan pilihan politiknya pada kandidat yang memiliki konsep dan strategi untuk memperbaiki sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.
Juventus juga menyinggung soal isu-isu kesejahteraan sosial, seperti kesetaraan gender, dan hak sosial lainnya, yang juga menjadi perhatian serius kaum muda saat ini.
Namun, yang tak kalah penting, kata Juventus, adalah isu perkembangan teknologi dan inovasi yang memang tidak bisa dipisahkan dari generasi Z dan milenial.
Menurutnya, generasi Z dan milenial adalah generasi yang tumbuh dengan teknologi. Karenanya, pemimpin yang memahami pentingnya inovasi dan perkembangan teknologi, bakal mendapat tempat di hati kaum muda.
Dalam bacaan Juventus, jika beberapa aspek tersebut menjadi isu utama para kandidat, potensi generasi Z dan milenial untuk golput bisa diminimalisir.
Ia berharap, kaum muda perlu mengambil bagian dalam proses Pemilu 2024 mendatang sebagai bentuk tanggung jawab konstitusional mereka terhadap kemajuan bangsa.
"Saya berharap, teman-teman muda bisa berpartisipasi dan tidak memilih golput pada Pemilu mendatang," kata calon Anggota DPR RI dari Dapil NTT 1 ini.
Kilas Balik Golput di Indonesia
Indonesia, seperti banyak negara lainnya, juga mengalami persoalan yang hampir sama, yakni golput pada setiap proses pemilu.
Secara sepintas, golput merupakan fenomena di mana warga negara memilih untuk tidak menggunakan hak pilih mereka dalam pemilihan umum, seperti pemilihan legislatif atau pemilihan presiden.
Sejarah golput di Indonesia memang cukup panjang dan diwarnai dengan beragam dinamika politik.
Hal ini dapat ditelusuri kembali ke era Orde Baru, ketika pada tanggal 5 Juli 1971, Pemilu pertama di bawah pemerintahan Orde Baru (Orba) diadakan.
Saat itu, sejumlah pemuda dan mahasiswa merasa bahwa tidak ada satu pun tokoh politik yang dapat benar-benar merepresentasi atau memperjuangkan aspirasi mereka.
Pemilu 1971 memang terasa sangat berbeda dari Pemilu sebelumnya. Jumlah partai politik yang berpartisipasi jauh lebih sedikit, hanya 10 partai politik dibandingkan dengan Pemilu 1955 yang melibatkan lebih dari 30 partai politik.
Beberapa partai politik yang ikut dalam Pemilu 1971 antara lain Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Kemudian, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Namun, yang menarik adalah bahwa pemenang Pemilu 1971, yaitu Golongan Karya, sebenarnya bukanlah partai politik dalam arti tradisional.
Pada saat itu, beberapa partai politik dibubarkan oleh pemerintah Orde Baru, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Keadaan ini menciptakan ketidakpuasan di kalangan pemuda dan mahasiswa yang merasa bahwa suara mereka tidak terwakili.
Salah satu tokoh utama dalam gerakan golput adalah Arief Budiman, yang memimpin kampanye golput bersama sejumlah aktivis seperti Adnan Buyung Nasution, Imam Waluyo, Julius Usman, dan Husin Umar.
Mereka aktif mempromosikan gagasan golput, dengan tidak memberikan suara kepada partai politik mana pun.
Kampanye golput ini menggelinding seperti bola salju, dengan pamflet-pamflet bertema "Tidak Memilih Hak Saudara," "Tolak Paksaan dari Manapun," dan "Golongan Putih Penonton yang Baik" tersebar di seluruh ibu kota.
Golput, dalam konteks ini, juga mencakup tindakan mencoblos di luar gambar partai atau di bidang putih pada surat suara, yang membuat suara tersebut tidak sah dalam perhitungan.
Inilah yang menjadi awal mula munculnya kelompok golput yang perlahan-lahan berkembang setiap kali pemilu digelar di Indonesia.
Gerakan golput memang tidak terlalu berhasil menjadi gelombang besar kekuatan politik. Intervensi pemerintah orde baru membuat masyarakat takut untuk tidak memilih.
Sri Yanuarti dalam tulisannya "Golput dan Pemilu di Indonesia," yang diterbitkan di Jurnal Penelitian Politik Volume 6, Nomor 1, 2009 menulis, jumlah golput pada Pemilu 1971 hanya mencapai 6,67 persen.
Kendati demikian, prediksi Menteri Penerangan Budiardjo saat itu bahkan meleset ketika ia menyatakan bahwa golput akan menghilang dengan sendirinya tanpa dilarang.
Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, golput rupanya terus meningkat. Pada Pemilu 1977, persentase golput meningkat menjadi 8,40 persen.
Bahkan setelah reformasi, ketika harapan akan demokrasi yang lebih transparan dan inklusif memuncak, jumlah golput terus meningkat.
Pada Pemilu 1999, angka golput mencapai 10,4 persen, dan pada Pemilu 2009, tingkat golput mencapai 29,01 persen untuk pemilihan legislatif dan 27,77 persen untuk pemilihan presiden.
Sejarah golput di Indonesia adalah cerminan dari dinamika dalam perkembangan demokrasi dan perasaan masyarakat terhadap sistem politik.
Meskipun ada yang menentang golput, ini tetap merupakan hak individu. Namun, fenomena ini juga mengingatkan kita akan pentingnya mendengarkan aspirasi dan keinginan rakyat agar sistem politik bisa lebih mewakili kepentingan mereka.
Golput adalah bukti bahwa suara rakyat adalah faktor penting dalam menjaga demokrasi yang sehat di Indonesia.