parboaboa

Menakar Dampak Negatif Penambangan Pasir Laut dan Penolakan Komunitas Lingkungan

Hasanah | Nasional | 03-06-2023

Dampak buruk dari penambangan pasir laut dikawatirkan menyebabkan pulau-pulau kecil yang berpenghuni mengalami abrasi. (Foto: Parboaboa/Bina Karos)

PARBOABOA, Jakarta - Jaringan jurnalis lingkungan yang tergabung dalam Environmental Reporting Collective (ERC) meluncurkan laporan investigasi terkait dampak negatif penambangan pasir di 12 negara, baik terhadap lingkungan maupun komunitas, terutama perempuan dan anak.

Mereka terdiri dari Indonesia (Tempo), Singapura (Kontinentalist), Kamboja, Vietnam, Thailand (Mekong Eye), Filipina (The Philippine Center of Investigative Journalist), China (The Initium), Taiwan (The Reporter), India, Nepal (Ukaalo), Sri Langka (Center for Investigative Reporting) hingga Kenya (Science Africa).  

Apalagi baru-baru ini, isu penambangan pasir kembali mengemuka usai ditekennya Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) 15 Mei lalu. Peraturan Pemerintah tersebut memuat pasal dibukanya kembali keran ekspor pasir laut dari Indonesia yang pernah dilarang di era Presiden Megawati Soekarno Putri.

Hasil investigasi tim ERC menemukan penambangan pasir yang masif menyebabkan terjadinya kerusakan di daerah penangkapan ikan seperti di Taiwan, China, dan Filipina, termasuk hilangnya sejumlah pulau kecil di Indonesia.

"Tidak ada tempat untuk menangkap ikan. Di Riau Indonesia dan Pulau Penghu di Taiwan misalnya, pengerukan laut untuk tambang pasir laut menyebabkan pendalaman dasar laut yang merupakan habitat ikan," kata Febrina Firdaus mewakili ERC saat dikonfirmasi Parboaboa, Jumat (2/6/2023).

Menurut Febrina, jika pengerukan untuk tambang pasir laut ini terus dilakukan, maka dampaknya habitat ikan akan rusak sehingga ikan menjadi sukar untuk ditemukan. Ia juga membandingkan jumlah tangkapan ikan sebelum dan sesudah adanya kapal pengerukan pasir laut yang terjadi seperti di Indonesia, Taiwan, China, hingga Filipina.

Di Taiwan misalnya, aktivitas ilegal kapal pengeruk pasir laut asal China dituding bertanggung jawab atas rusaknya daerah penangkapan ikan di Pulau Penghu, yang mengakibatkan hampir 90 persen tangkapan ikan nelayan setempat menurun drastis.

Biro Pertanian dan Perikanan wilayah Penghu juga mengungkap tangkapan ikan di sana turun dari 346 metrik ton di 2018 menjadi hanya 160 metrik ton di 2021.

Bahkan di China, pemerintah melarang nelayan beroperasi di Danau Poyang demi mengambil alih tambang pasir di sana, sehingga menyebabkan kerusakan daerah penangkapan ikan dan habitatnya, yang sangat serius.

Di Filipina, aktivitas ilegal penambang pasir laut telah merusak pesisir di Ilocos Sur yang juga berdampak pada menurunnya hasil tangkapan ikan nelayan setempat.

Di Indonesia sendiri, penambangan pasir laut oleh PT Logo Mas Utama di perairan utama Pulau Rupat dan Pulau Babi, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau yang memperparah kerusakan ekosistem pesisir serta abrasi di daerah tersebut.

"Jadi kalau secara kasat mata kerusakan akibat aktivitas tambang ya abrasi karena air laut. Misal di Filipina, pantai yang awalnya penuh puing-puing bangunan, kini menjadi pesisir," ungkapnya.

Selain itu, tim ERC juga menemukan fakta penambangan pasir di seluruh dunia melibatkan jaringan mafia yang mengelola bisnis bernilai miliaran US dolar dan disebut-sebut terlibat dalam aktivitas keselamatan jurnalis, pegiat lingkungan dan masyarakat sipil yang beberapa dari mereka di penjara hingga kehilangan nyawa.

Tim ERC, lanjut Febrina, juga berhasil menemukan kasus kriminal terkait aktor penambang pasir ini seperti di Nepal, Filipina, Sri Lanka, Vietnam, hingga India.

"Di Bihar, India, misalnya, mafia tambang pasir umumnya berasal dari kasta yang lebih tinggi yang dengan paksa merampas tanah pertanian dari kasta yang lebih rendah. Bahkan aksi mereka itu terkadang melibatkan kontak senjata antarkelompok mafia," jelasnya.

Tidak hanya itu, hasil investigasi tim ERC menyebutkan, penambangan pasir juga berdampak pada kelompok rentan, seperti perempuan, karena selain merusak rumah mereka, penambangan pasir juga merusak lahan pertanian yang mengancam ketahanan pangan mereka.

"Dampak yang paling serius ya ada pada kelompok rentan seperti perempuan dan anak. Apalagi perempuan seringkali menanggung beban negatif sosial dan lingkungan dari kegiatan penambangan pasir di seluruh dunia. Hal ini juga terbukti dalam banya laporan tentang industri global. Di Kenya misalnya, banyak lahan pertanian berubah jadi tambang pasir. Akibatnya perempuan atau ibu-ibu tidak bisa menanam sayur atau makanan pokok, sehingga ia kesulitan menyediakan pangan yang bergizi bagi anaknya," ujarnya.

Aktivitas penambangan pasir yang terjadi di sepanjang Sungai Mekong yang mengalir dari China hingga Vietnam juga membuat banyak rumah di bantaran sungai rubuh. Dari kejadian-kejadian tersebut, perempuan dan anak-anak juga yang paling banyak dirugikan, imbuh Febrina.

Berdasarkan hasil investigasi, lanjut Febrina, disimpulkan bahwa ada indikasi kuat penambangan pasir akan berdampak buruk pada lingkungan dan komunitas.

Terlebih, tak ada aturan atau badan global yang memonitor eksploitasi pasir yang merupakan sumber daya kedua terbanyak yang digunakan setelah air.

"Kami berharap temuan ini bisa menjadi rujukan bagi pembuat kebijakan di tingkat regional, nasional dan global untuk membuat peraturan yang melindungi lingkungan dan kelompok rentan dari penambangan pasir yang merusak," harapnya.

Di Indonesia sendiri, penolakan terhadap penambangan pasir laut terus disuarakan sejumlah komunitas pemerhati lingkungan seperti Greenpeace dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), seiring ditandatanganinya PP Nomor 26 Tahun 2023.

Menurut Juru Bicara Kampanye Laut Greenpeace, Afdillah, dampak negatif dari penambangan pasir laut yaitu mempercepat dampak bencana iklim, menenggelamkan pulau-pulau kecil karena akan mengubah kontur dasar laut yang berpengaruh pada pola arus dan gelombang laut, mengancam sumber kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang menggantungkan hidupnya dari laut hingga kemiskinan, karena mata pencaharian para nelayan akan terganggu.

"Berpotensi menghancurkan sumber alam kita, memicu konflik horizontal dengan pengusaha, hingga kemiskinan. Karena mata pencaharian para nelayan akan terganggu," tegas Afdillah kepada Parboaboa saat dihubungi, Jumat (2/6/2023).

Sementara Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Nasional, Parid Ridwanuddin mengatakan saat ini masyarakat Indonesia tengah menghadapi situasi yang sangat buruk yaitu ancaman kenaikan suhu 1,1 derajat celcius.

Kemudian, dampak buruk dari krisis iklim ini akan menyebabkan pulau-pulau serta desa-desa pesisir kita tenggelam. Kemudian, banyak pulau-pulau di Indonesia yang abrasi.

Parid melanjutkan, sudah banyak pengalaman terkait pulau-pulang yang akhirnya hilang akibat adanya lokasi penambangan. Misalnya, di Kepulauan Seribu ada sekitar tujuh lokasi, di Bengkulu, di Sumatra, hingga di Bangka Belitung dan lainnya.

"Di Lombok Timur NTB (Nusa Tenggara Barat), nelayannya harus melaut hingga ke perairan Sumba karena wilayah tangkapannya ditambang untuk pasir. Jadi tambang pasir untuk dibawa ke reklamasi Benoa, nah inilah yang terjadi di lapangan," jelasnya.

Komunitas Pemerhati Lingkungan Tolak PP 26/2023

Mengingat dampak negatif dari penambangan pasir laut yang begitu besar, lembaga pemerhati lingkungan ini mendesak pemerintah mencabut PP Nomor 26 Tahun 2023 karena berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang masif.

Apalagi setelah dipahami, lanjut Juru Bicara Kampanye Laut Greenpeace, Afdillah, PP ini bukan untuk pemulihan ekologi akan tetapi bagaimana mengatur izin penambangan pasir di laut, yang dibungkus sebaik mungkin.

"Karena di PP itu hanya ada dua pasal yang mengatur tentang pemulihan yang masih kami dalami secara intensif, selebihnya banyak mengatur bagaimana perizinan berusaha dan segala macamnya," ungkapnya.

Kedua, Afdillah menyebut bahwa PP ini dibuat tidak dengan cara partisipatif karena tidak ada pelibatan publik atau diskusi sama sekali. Greenpeace lantas mempertanyakan siapa pihak di balik kebijakan ini.

Afdillah menambahkan, Greenpeace juga akan menempuh langkah hukum, jika pemerintah tidak juga merespons keinginan masyarakat agar PP Nomor 26/2023 dibuka seterang mungkin.

Sedangkan Walhi mendesak pemerintah segera mencabut PP 26/2023 ini. Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Nasional, Parid Ridwanuddin, jika pemerintah tidak mau mencabut PP 26/2023 ini maka Walhi akan menggugat secara hukum bersama masyarakat yang juga menolak PP 26/2023 ini.

"Karena berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan secara masif," imbuh dia.

Greenpeace Indonesia dan Walhi bahkan diminta menjadi tim kajian ekspor pasir laut bentukan pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Namun kedua lembaga pemerhati lingkungan itu menolak terlibat dalam tim kajian tersebut.

Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan kebutuhan reklamasi di dalam negeri begitu besar, sehingga apabila hal itu tidak diatur maka bisa jadi pulau-pulau akan digunakan untuk reklamasi.

"Atau penyedotan yang di dasar laut yang diambil dan sebagainya yang berakibat pada kerusakan lingkungan yang harus kita jaga dan hadapi," kata Sakti dilansir Parboaboa dari akun YouTube Kementerian KKP, Sabtu (3/6/2023).

Atas dasar itulah, kata Sakti, PP Nomor 26 Tahun 2023 diterbitkan dan jika diperbolehkan untuk reklamasi, maka harus menggunakan pasir sedimentasi atau hasil sedimentasi. Penerbitan PP tersebut, lanjut dia, menjadi dasar agar tidak ada lagi pengerukan ilegal.

Menurut Sakti, sedimentasi ini boleh digunakan dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam PP Nomor 26 Tahun 2023, yaitu dibentuk tim kajian yang terdiri dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perguruan tinggi, hingga ahli pakar.

"Dan juga saya minta juga LSM (lembaga swadaya masyarakat) atau Greenpeace misalnya, akan saya minta ini sudah ada di PP, tapi nanti di peraturan teknisnya akan dituangkan dalam Peraturan Menteri yang sekarang sedang dipersiapkan," imbuh Sakti

Editor : Kurnia Ismain

Tag : #ekspor pasir laut    #pasir laut    #nasional    #lingkungan    #jokowi    #tambang pasir laut    #kkp   

BACA JUGA

BERITA TERBARU