parboaboa

Mengenal Boen San Bio: Salah Satu Kelenteng Tertua di Tangerang

Muazam | Metropolitan | 21-06-2023

Altar utama di dalam Kelenteng Boen San Bio. (Foto: Parboaboa/Muazam)

PARBOABOA, Jakarta - Kelenteng Boen San Bio berdiri gagah di tengah Pasar Baru, Kota Tangerang, Banten. Ia merupakan salah satu kelenteng tertua di Kota Tangerang. Didirikan pada 1689 oleh pedagang asal Cina, Lim Tau Koen.

Berada di lahan seluas 6.000 meter persegi, bangunan Boen San Bio awalnya sangat sederhana. Dindingnya terbuat dari gedek bambu dan beratap rumbia.

Seiring kemajuan zaman, Kelenteng Boen San Bio mengalami beberapa kali renovasi. Mulai dari 1960, 1971 dan puncaknya di 1997, pengurus kembali merenovasi besar-besaran rumah ibadah bagi masyarakat Tionghoa itu.

Awalnya, yang direnovasi hanya bagian tengah dan belakang kelenteng saja. Untuk bagian depan, pengurus masih menjaga keaslian kelenteng.

“Pengurus saat itu tak berani merenovasi bagian depan karena sakral dan terdapat banyak ukiran kayu jati yang bagus dan indah di altar Kong Cok Hok Tjeng Sin. Juga ukiran Liong yang melingkar bagus di tiang penyanggah. Kami takut kualat, takut disalahkan para Dewa,” ujar Yans Suharlim, pengurus Boen San Bio kepada Parboaboa.

Namun, saat tengah merenovasi bagian tengah dan belakang kelenteng di awal 1998, musibah kebakaran terjadi. Pada bagian depan kelentang Boen San Bio hangus, disebabkan lilin dan minyak jatuh kesenggol kucing dan membakar gorden, kemudian merembet ke bagian lain.

Kebakaran menghanguskan ruang utama beserta seluruh perlengkapan sembahyang.

“Jadi, kebakaran itu menguatkan kami bahwa dewa menginginkan semua bagian kelenteng di-upgrade, karena tengah dan belakangnya bagus, kok depannya kuno. Akhirnya, ikut direnovasi dan selesai tahun 2000,” cerita Yans.

Setelah direnovasi, fungsi Kelenteng Boen San Bio pun bertambah. Selain rumah ibadah masyarakat Tionghoa, kelenteng ini juga menjadi objek wisata religi di Kota Tangerang.

Altar bagian luar Kelenteng Boen San Bio. (Foto: Parboaboa/Muazam) 


“Wisatawan yang datang tidak hanya berasal dari dalam negeri saja, tapi juga dari mancanegara. Di antaranya dari Thailand, Myanmar, Filipina, Singapura, Malaysia, Vietnam hingga Australia,” ujar Yans.

Jika ditelusuri satu per satu bangunan Boen San Bio, wisatawan bisa melihat ruang ibadah dengan dewa-dewa, salah satunya Sinbeng Khong Co Hok Tek Tjeng Sin atau Dewa Bumi di bagian depan.

Di bagian belakang terdapat tiga bangunan yaitu ruang Dhammasala, Pendopo Pecun, dan Kramat Mbah Raden Surya Kencana. Bagian atap kelenteng terdapat sepasang naga yang terlihat ingin menelan Mustika. Naga itu dibuat dengan ukuran besar yang melambangkan ciri khas kelenteng. 

Di lantai dua Boen San Bio terdapat ruangan untuk umat melakukan meditasi dan juga ruang tidur para Bhante serta Biksu.


Dewa Bumi Mendominasi Kelenteng Boen San Bio

Mereka yang beribadah di kelenteng Boen San Bio menyembah Hok Tek Tjeng Sin atau Dewa Bumi.

Patung Dewa Bumi itu berada di bagian depan, atau altar utama kelenteng Boen San Bio.

Yans menjelaskan, Hok Tek Tjeng Sin merupakan salah satu dewa tertua yang dipercayai masyarakat Tionghoa, sehingga hampir di setiap kelenteng terdapat altar Hok Tek Tjeng Sin.

“Hok Tek Tjeng Sin digambarkan seperti seorang tua berambut dan berjenggot putih dengan wajah tersenyum ramah. Pakaiannya bercorak sebagai seorang hartawan,” ujar Yans.

Dewa Bumi ini, lanjut Yans, merupakan pelindung bagi kaum tani dan pedagang agar usaha mereka dapat berhasil dengan baik.

Inilah yang menjadi awal mula kelenteng Boen San Bio ini berdiri, karena lebih banyak digunakan oleh pedagang dari Cina.

Biasanya untuk memperingati hari ulang tahun Hok Tek Tjeng Sin, petani dan pedagang serta umat umumnya akan bersembahyang di kelenteng dengan membawa persembahan sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih.

“Hari ulang tahun Hok Tek Tjeng Sin di Boen San Bio jatuh setiap tanggal 2 bulan 2 tahun Imlek,” imbuh Yans.

Editor : Kurnia

Tag : #kelenteng    #kelenteng boen san bio    #motropolitan    #tangerang    #jabodetabek   

BACA JUGA

BERITA TERBARU