PARBOABOA, Jakarta - Diskursus tentang kesetaraan gender masih memainkan peranan krusial dalam kehidupan masyarakat.
Di tengah konteks kehidupan bersama yang menomorduakan peran perempuan, upaya untuk membangun diskusi dan gerakan tentang kesetaraan gender menjadi pilihan yang mendesak.
Hal ini dilakukan mengingat ketimpangan gender semakin marak terjadi. Dalam banyak kasus, perempuan kerap menjadi 'korban' dari sistem yang didominasi kaum pria.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, Indeks Ketimpangan Gender (IKG) di Jakarta Barat pada tahun 2020 mencapai angka 0,261.
Angka ini pernah mengalami penurunan menjadi 0,181 pada tahun 2021, sebelum naik lagi menjadi 0,385 pada tahun 2022.
Sementara itu, Indeks Pembangunan Gender (IPG) Jakarta Barat adalah 95,16 pada tahun 2020, tetap di angka yang sama pada tahun 2021, dan meningkat menjadi 96,41 pada tahun 2022.
Dua data di atas, sepintas menunjukkan bahwa ketimpangan gender masih menjadi persoalan umum yang ditemukan di Jakarta Barat.
Pemerintah Kota Jakarta Barat (Pemkot Jakbar) secara kelembagaan telah mengupayakan sejumlah langkah strategis untuk mencegah persoalan serupa di masa depan.
Terbaru, mereka berhasil mengadakan bimbingan teknis (bimtek) untuk Penyusunan Perencanaan Penganggaran Responsif Gender (PPRG).
Adapun tujuan utama bimtek PPRG adalah untuk menguatkan kesetaraan gender di seluruh wilayah Kota Jakbar.
Wali Kota Jakbar, Uus Kuswanto pada Rabu (15/05/2024) menyatakan bahwa bimtek ini bertujuan untuk memperkuat integritas gender.
Di pihak lain, lanjut UUS, kegiatan tersebut juga bertujuan untuk mengatasi berbagai hambatan dalam mewujudkan kesetaraan gender, seperti marginalisasi, stereotipe, dan subordinasi yang kerap dialami kaum perempuan.
"Fokus kegiatan tertuju pada proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi dengan mempertimbangkan ragam isu, kebutuhan, serta harapan kaum perempuan," ujar Uus.
Menurutnya, pelaksanaan PPRG sesungguhnya telah diamanatkan dalam Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.
Dalam peraturan tersebut, diinstruksikan agar seluruh kementerian dan lembaga di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota melaksanakan PPRG.
Uus menambahkan, bimtek ini juga bertujuan mendukung Jakbar dalam mencapai status sebagai kota yang responsif gender, termasuk melalui penghargaan Apresiasi Parahita Ekapraya (APE).
"Diharapkan agar para peserta mampu meningkatkan komitmen dalam menyusun anggaran yang bersifat tanggap gender guna membangun Jakarta Barat sebagai kota yang memiliki perspektif gender yang kuat," harapnya.
Selaras dengan Uus, Kepala Pemberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) Jakbar, Aswarni menegaskan bahwa bimtek PPRG bertujuan untuk melahirkan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang kompeten dalam menyusun anggaran dengan tetap memperhatikan aspek gender di semua sektor pembangunan.
OPD yang telah dibentuk, lanjut Aswarni, akan menjadi corong untuk membangun pemahaman publik tentang pentingnya kesetaraan gender.
"Kami berusaha memberikan pemahaman mendalam tentang pengarusutamaan gender kepada perangkat daerah di Jakarta Barat," jelas Aswarni, Rabu (15/05/2024).
Konsep Gender
Istilah "gender" merujuk pada perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan, yang bukan merupakan hasil dari perbedaan biologis melainkan konstruksi sosial.
Dalam konteks biologis, perbedaan antara laki-laki dan perempuan hanya terbatas pada fungsi reproduksi yang tidak dapat diubah.
Perempuan, misalnya mengalami fase menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Sedangkan, laki-laki adalah sosok yang menghasilkan sperma yang ketika bertemu sel telur akan menciptakan keturunan.
Janu Arbain, Nur Azizah, Ika Novita Sari dalam artikel berjudul "Pemikiran Gender Menurut Para Ahli" (2015) menyebut bahwa gender merupakan konsep yang dipakai untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari sudut pandang non-biologis.
Umumnya, perbedaan ini terjadi dalam proses sosialisasi dari generasi ke generasi. Di sini, terkuak ragam peran gender yang berubah tergantung waktu dan budaya.
Interpretasi sosial yang demikian seringkali dibentuk oleh sistem patriarki yang membatasi hak, akses, dan partisipasi individu berdasarkan gender.
Beberapa masyarakat memiliki batasan yang sangat ketat mengenai apa yang dianggap pantas untuk laki-laki dan perempuan.
Hal tersebut, antara lain terwujud dalam larangan bagi laki-laki untuk masuk dapur atau bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah.
Namun, kelompok masyarakat lain lebih fleksibel. Mereka memperbolehkan perempuan untuk melakukan pekerjaan fisik seperti mengurus proyek, sedangkan laki-laki dapat terlibat dalam kegiatan rumah tangga.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa gender adalah suatu konsep yang dinamis dan berubah-ubah, bukan kodrat yang tetap dan bersifat mutlak.
Editor: Defri Ngo