parboaboa

UNHCR: Pengungsi Rohingya Jadi Korban Kampanye Kebencian di Media Sosial

Aprilia Rahapit | Internasional | 28-12-2023

Ilustrasi. UNHCR mengaku sangat terganggu melihat serangan massa di sebuah lokasi yang menampung keluarga pengungsi yang rentan. (Foto: Pexels/Achmed Akacha)

PARBOABOA, Jakarta – United High Commisioner For Refugees (UNHCR) menyayangkan aksi pemindahan paksa yang dilakukan para mahasiswa terhadap pencari suaka Rohingya di Banda Aceh, Rabu (27/12/2023).

Dikutip dari laman resmi UNHCR, lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu mengaku sangat terganggu melihat serangan massa di sebuah lokasi yang menampung keluarga pengungsi yang rentan.

Ratusan pemuda menyerbu basement gedung di mana tempat para pengungsi berlindung. Massa menerobos barisan polisi dan secara paksa memasukkan 137 pengungsi ke dalam dua truk, dan memindahkan mereka ke lokasi lain di Banda Aceh.

"Peristiwa ini membuat para pengungsi terkejut dan trauma," tulis UNHCR.

UNHCR mengaku sangat khawatir mengenai keselamatan para pengungsi dan meminta aparat penegak hukum setempat untuk memastikan perlindungan pengungsi termasuk staf kemanusiaan.

Akibat Narasi Negatif

UNHCR  menyebut bahwa serangan terhadap pengungsi merupakan hasil dari kampanye online terkoordinasi yang berisi misinformasi, disinformasi dan ujaran kebencian terhadap pengungsi.

Selain itu juga untuk memfitnah upaya Indonesia yang menyelamatkan nyawa para pengungsi yang putus asa dalam kesusahan di laut.

UNHCR mengingatkan, bahwa pengungsi anak-anak, perempuan dan laki-laki yang putus asa mencari perlindungan di Indonesia merupakan korban penganiayaan dan konflik, bahkan penyintas perjalanan laut yang mematikan.

"Indonesia  dengan tradisi kemanusiaannya yang sudah lama ada telah membantu menyelamatkan orang-orang yang putus asa dan bisa saja meninggal di laut seperti ratusan orang lainnya," papar UNHCR.

Badan Pengungsi PBB turut turun tangan dengan memperingatkan masyarakat umum untuk mewaspadai kampanye online yang terkoordinasi dan terkoordinasi dengan baik di platform media sosial.

Pasalnya hal itu telah menyerang  komunitas lokal, pengungsi dan pekerja kemanusiaan, dengan menghasut kebencian, bahkan bisa membahayakan nyawa.

"UNHCR mengimbau masyarakat di Indonesia untuk memeriksa ulang informasi yang diposting online, yang sebagian besar palsu atau diputarbalikkan, dengan gambar yang dihasilkan AI dan ujaran kebencian yang dikirim dari akun bot," imbau UNHCR.

Awal Mula Pengungsi Rohingya

Pengungsi Rohingya menjadi salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia. Komunitas Rohingya sendiri merupakan kelompok minoritas etnis Muslim yang bermukim di negara bagian Rakhine, Myanmar atau yang sebelumnya dikenal sebagai Burma.

Mereka bahkan telah menghadapi diskriminasi sistematis, kekerasan, dan pengucilan dari pemerintah Myanmar selama beberapa dekade.

Pada abad ke-19, sebagian besar penduduk Rohingya tinggal di wilayah Arakan atau sekarang disebut dengan Rakhine, pada saat itu bagian dari Kekaisaran Britania di India. Namun setelah Myanmar meraih kemerdekaannya pada tahun 1948, masalah kewarganegaraan Rohingya menjadi perdebatan serius.

Kemudian pada tahun 1982, pemerintah Myanmar meloloskan Undang-Undang Kewarganegaraan d mengan eniadakan status kewarganegaraan bagi Rohingya, menganggap mereka sebagai pendatang ilegal dari Bangladesh meskipun sebagian besar telah tinggal di wilayah tersebut selama berabad-abad.

Konflik dan Kekejaman

Ketegangan antara etnis Rohingya dan pemerintah Myanmar kemudian meningkat pada awal abad ke-21. Tepatnya tahun 2012, serangkaian kekerasan antar-etnis terjadi di Rakhine menyebabkan ribuan orang Rohingya kehilangan tempat tinggal.

Kondisi itu akhirnya membuat mereka dan terpaksa mengungsi ke sejumlah kamp pengungsian dengan keterbatasan dan kekurangan.

Adapun di Tahun 2016 dan 2017 terjadi eskalasi konflik yang lebih kejam. Tepatnya pada Agustus 2017, serangan kelompok pemberontak Rohingya terhadap pos-pos keamanan Myanmar diakibatkan oleh respons militer yang berlebihan.

Pasukan keamanan Myanmar dilaporkan melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan, pembakaran rumah, bahkan pengusiran besar-besaran terhadap penduduk Rohingya. Hal itu membuat puluhan ribu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dalam kondisi kritis.

Kamp-kamp pengungsi seperti Bangladesh, seperti Cox's Bazar, menjadi tempat tinggal bagi lebih dari satu juta pengungsi Rohingya. Kondisi mereka sangat sulit, dengan kekurangan makanan, air bersih, fasilitas sanitasi, dan akses terbatas terhadap layanan kesehatan dan pendidikan.

Harapan di Masa Depan

Pada 2021 sejumlah negara-negara mulai memperlihatkan komitmen membantu penyelesaian krisis ini, baik itu upaya diplomatik maupun bantuan kemanusiaan. Sayangnya, upaya memulihkan hak-hak dasar dan keamanan bagi pengungsi Rohingya butuh solusi yang melibatkan partisipasi aktif terutama dari pemerintah Myanmar serta komunitas internasional.

Solusinya tidak lain adalah mengakhiri diskriminasi, kekerasan. Selain itu solidaritas global dan langkah-langkah konkret dari pemerintah Myanmar dan dunia internasional.

Semestinya, krisis pengungsi Rohingya menjadi panggilan bagi seluruh dunia untuk bekerja sama dalam mendukung hak asasi manusia demi menghentikan penderitaan para pengungsi Rohingya.

Editor : Aprilia Rahapit

Tag : #Rohingya    #pengungsi    #internasional    #kemanusiaan   

BACA JUGA

BERITA TERBARU