PARBOABOA, Pematang Siantar - Polemik data keluarga penerima manfaat (KPM) untuk program bantuan sosial beras 10 kilogram dan sengkarutnya data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) di Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara masih terus bergulir.
Terbaru, PARBOABOA berhasil mewawancarai KPM penerima bansos yang diduga merupakan salah satu dari 48 ASN yang tercantum dalam laporan temuan BPK.
Kepada PARBOABOA, Murni (bukan nama sebenarnya) membenarkan ia masih terdaftar dalam KPM penerima bansos hingga Agustus 2023 lalu.
Sementara ASN yang dimaksud dalam laporan BPK adalah anak Murni yang masih satu kartu keluarga dengannya dan saat ini bekerja di Jakarta.
"Anak saya yang bekerja sebagai ASN di salah satu instansi pemerintah di pusat sejak bulan Mei kemarin (2023)," ungkapnya kepada PARBOABOA.
Murni mengaku ia sudah menjanda dan terdata sebagai penerima bantuan KPM sejak tahun 2021, saat pandemi COVID-19. Namun, sejak Agustus 2023, Murni mengaku tidak lagi mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat itu.
"Berawal dari rekening KPM saya menunjukkan saldo Rp0 saat penyaluran tahap III, saya pikir saya dicoret tanpa alasan saja," ungkapnya.
Murni pun lantas berkonsultasi dengan relawan tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK) terkait kondisi tersebut. Oleh relawan TKSK, Murni diminta mendaftar ulang agar tetap masuk dalam DTKS.
"Atau bisa saja anak saya itu dipisahkan KK-nya," kata warga di Kecamatan Siantar Timur ini.
Ia pun pasrah jika namanya harus keluar sebagai keluarga penerima manfaat di DTKS Kemensos.
"Kalau sudah kejadian dan solusinya seperti itu, saya menerima keluar dari daftar penerima, tetapi ini masih dalam tahap pengauditan dan penyelidikan, masih menunggu tahapan ini," katanya.
Murni pun berharap Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) lebih akurat melakukan verifikasi, mengawasi dan segera melakukan validasi terhadap KPM lainnya yang datanya diduga bermasalah atau tidak sesuai.
"Perbaikan data perlu dilakukan agar penyaluran KPM atau bansos lebih tepat sasaran," imbuhnya.
Sementara itu, Koordinator Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Pematang Siantar, Armansya Nasution mengakui, banyak KPM penerima bantuan masih satu KK dengan anggota keluarga yang bekerja sebagai ASN.
Kondisi tersebut yang akhirnya teridentifikasi BPK dalam temuannya terkait data penerima bansos.
"Mayoritas anaknya sebagai ASN dan masih satu KK dengan orangtuanya. Ada 38 penerima bantuan KPM seperti itu dan 9 penerima bantuan tersebut yang benar-benar ASN, 1 orang sebagai pegawai honorer saja," ungkapnya kepada PARBOABOA, Rabu (11/10/2023).
Relawan, kata Armansya, juga telah mengarahkan KPM yang masuk dalam daftar temuan BPK melakukan daftar ulang maupun memisahkan anggota keluarga yang berprofesi sebagai ASN tersebut dari KK.
"Itu dulu solusi dari kami," katanya.
Adanya temuan BPK tersebut, lanjut Armansya, membuat 48 KPM tidak lagi menerima bantuan sosial.
"Per 5 Agustus mereka yang terdaftar di temuan BPK tersebut tidak lagi menerima bantuan KPM tersebut," katanya.
TKSK juga telah berkoordinasi dengan BPKPSDM dan Inspektorat Pematang Siantar untuk menyelesaikan audit yang mereka terima. Termasuk mengusulkan tuntutan ganti rugi sebagai sanksi terhadap 9 ASN yang terdaftar dalam KPM penerima bansos ini.
"Untuk 9 ASN tersebut akan kami usulkan untuk memberikan TGR-nya setelah penyelidikannya selesai," jelasnya.
"Kita tetap konsen dan menyelesaikan temuan tersebut, dan untuk pendaftaran masyarakat dari tingkat kelurahan akan kami perbaiki," sambungnya.
Armansya juga mengakui ada perbedaan DTKS di Dinsos P3A dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Pematang Siantar.
"Namun itu murni cacat administrasi kependudukan saja," ungkapnya.
Armansya mengaku TKSK Pematang Siantar masih mengacu pada UU No 13 Tahun 2011 dan Permensos No 3 Tahun 2021 untuk melakukan verifikasi data penerima bantuan di DTKS.
Saat ini, ada 3 kecamatan di Pematang Siantar yang data KPM penerima bansos yang tidak sesuai. Yaitu Kecamatan Siantar Martoba sebanyak 152 orang, di Siantar Timur 153 orang dan Siantar Utara, 110 orang.
Sementara itu, Kepala Bidang Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat di Kelurahan Nagapita, Kecamatan Siantar Martoba, Nurhayati, menegaskan, data KPM dari kelurahannya di DTKS Dinsos P3A sudah sesuai.
"Terkait ada laporan tersebut kami belum dapat merinci penerima bantuan semacam itu, namun kami pastikan sesuai," tegasnya.
Pada prinsipnya, kata Nurhayati, program distribusi bansos beras 10 kilogram untuk KPM dilaksanakan per kelurahan untuk warga yang benar-benar membutuhkan atau tidak memiliki cukup makanan dan kondisi ekonomi yang kurang baik.
Untuk mengajukan permohonan bansos tersebut, warga harus memenuhi beberapa syarat seperti KTP, KK, rekening air, rekening listrik, serta foto kondisi rumah mereka.
Selain itu, perlu tanda tangan relawan yang akan meninjau langsung kondisi masyarakat tadi, memenuhi kriteria atau tidak untuk mendapatkan bansos beras.
Setelah itu, baru diajukan ke Kementerian Sosial untuk dievaluasi.
"Nantinya, DTKS tersebut diajukan ke bagian TKSK di Dinas Sosial agar dapat terverifikasi mana saja warga yang benar-benar membutuhkan," imbuh Nurhayati.
Tanggapan Pengamat
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik di Pematang Siantar, Kristian Silitonga meminta Pemko Pematang Siantar segera bertindak menanggapi temuan BPK tersebut.
"Situasi ini menyoroti pentingnya koordinasi yang efektif antara berbagai instansi pemerintah dan keterbukaan kepada masyarakat dalam melaporkan pelanggaran atau penyalahgunaan program bantuan itu," ungkapnya kepada PARBOABOA, Rabu (11/9/2023).
Ia juga menyesalkan banyaknya data penerima program yang tidak valid di lapangan. Padahal masih banyak warga Pematang Siantar yang kondisinya tidak mampu dan memerlukan bantuan.
Kristian juga menilai, temuan BPK merupakan bentuk kegagalan Pemko Pematang Siantar terkait pengawasan bansos yang dapat mengurangi kepercayaan publik atas kredibilitas dan keandalan informasi yang mereka sajikan.
"Belum lagi temuan ini bersifat objektif dan dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian negara," ucapnya.
Direktur Eksekutif Studi Otonomi Pembangunan Demokrasi ini juga meminta Pemko Pematang Siantar melalui Dinsos P3A lebih serius mengawasi pendistribusian bantuan KPM tersebut.
"Ke depannya pemerintah kita perlu membangun sistem yang lebih tertib agar kemungkinan terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam penyaluran bantuan ini dapat dihindari,” imbuh Kristian Silitonga.
Sebelumnya, BPK menemukan ketidaksesuaian pendataan KPM program bansos di Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara.
Dalam temuannya, BPK menemukan 2.000 KPM yang seharusnya tidak memenuhi syarat atau memiliki tingkat ekonomi yang menengah ke atas, namun tercatat sebagai penerima bansos.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 700 penerima bantuan diketahui memiliki pendapatan di atas Upah Minimum Regional (UMR) daerah setempat.
Selain itu, terdapat 48 orang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang juga terdaftar sebagai penerima bantuan.
Sedangkan sisanya memiliki aset yang tercatat dalam akta notaris dan usaha yang terdaftar dalam basis data Administrasi Hukum Umum (AHU).