PARBOABOA - Presiden Joko Widodo, pada Januari lalu pernah berjanji akan memprioritaskan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebagai upaya untuk melindungi pekerja rumah tangga.
Namun, lima bulan berlalu, nampaknya RUU tersebut belum menjadi isu penting dibahas para wakil rakyat. Selama 19 tahun diusulkan, belum jelas kapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan membahasnya hingga paripurna. Padahal, masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 sudah dibuka tiga pekan lalu, Selasa (15/5/2023).
“Seharusnya Bamus (Badan Musyawarah) segera mengagendakan RUU PPRT di rapat paripurna DPR untuk ditetapkan RUU ini dibahas pada tingkat satu antara pemerintah dengan DPR, sehingga bisa disahkan pada masa sidang Mei hingga pertengahan Juli ini,” ujar Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini, kepada Parboaboa, Senin pekan lalu.
Lita berharap RUU PPRT sudah masuk pembahasan pada masa sidang DPR yang akan berlangsung hingga 13 Juli 2023. Menurutnya, semua fraksi di DPR sudah setuju dengan RUU PPRT, prosesnya pun hanya menunggu lampu hijau Bamus DPR, yang terdiri dari pimpinan fraksi dan pimpinan DPR.
Jika Bamus memutuskan untuk mengagendakan pembahasan RUU PPRT dalam Rapat Paripurna, nantinya akan dibahas pada tingkat I antara DPR dan pemerintah, proses legislasi pun bakal berjalan cepat.
Lita mengatakan, proses legislasi RUU PPRT jangan sampai lepas begitu saja pada tahun ini. Apalagi, partai politik akan disibukkan dengan urusan Pemilu 2024.
“Kita harus mendorongnya sebelum semua Parpol sibuk dengan agenda politik masing-masing, mereka juga harus segera merampungkan PR yang menyangkut hajat hidup orang banyak, salah satunya RUU PPRT,” jelasnya.
Jalan berliku telah dilalui RUU ini selama hampir dua dekade. Sempat masuk dalam Prolegnas tahun 2004, kemudian mandek di Badan Legislatif (Baleg) DPR tahun 2014, keluar dari Prolegnas, hingga masuk sebagai RUU prioritas tahun 2020.
Sejak awal tahun 2023, RUU PPRT mengalami perkembangan pesat saat Presiden Joko Widodo turun tangan memerintahkan para Menteri terkait untuk mempercepat prosesnya.
Menteri Ketenagakerjaan bersama Menteri Sosial, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Menteri Dalam Negeri telah meneken draf berisi 367 Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU PPRT, pada 15 Mei 2023.
Sehari berselang, pemerintah menyerahkan DIM RUU PPRT yang terdiri dari batang tubuh (239 DIM) dan penjelasan (128 DIM) kepada DPR. Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej menargetkan, RUU PPRT sudah masuk tahap pembahasan pada akhir bulan Mei.
Menggantung di DPR
Memasuki bulan Juni DPR masih menggantung RUU PPRT. Wakil rakyat itu belum memberikan kepastian kapan RUU yang melindungi pekerja rumah tangga bakal dibahas setelah diputuskan menjadi inisiatif DPR pada 16 Mei lalu.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya belum bisa memastikan kapan RUU PPRT ini akan disahkan. Politikus Partai NasDem itu hanya menyebut akan mempercepat proses legislasi.
“Kami menyusun RUU PPRT dengan penuh kehati-hatian dengan menyerap berbagai masukan dari masyarakat dalam rangka penyempurnaan instrumen penting dalam perlindungan terhadap teman-teman PRT ini,” jelas Willy dalam keterangan tertulisnya, Selasa pekan lalu.
Tapi, para fraksi di DPR belum menemui kata sepakat ihwal materi RUU PPRT tersebut. Meski seluruh fraksi menyatakan setuju dengan RUU itu akan tetapi masing-masing mereka memberikan catatan kritis.
Fraksi PDI Perjuangan, misalnya, ingin RUU PPRT diharmonisasikan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Cipta Kerja, dan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu juga menginginkan ketentuan pidana terhadap pemberi kerja konvensional dalam RUU PPRT dihapuskan.
Sementara Fraksi Partai Golkar ingin dalam RUU PPRT juga memuat ketentuan perlindungan terhadap pemberi kerja, tak hanya pada pekerja rumah tangga. Sedangkan Fraksi PKB menyarankan ketentuan pidana RUU PPRT disinkronkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Kendalanya di pimpinan DPR karena tidak segera menindaklanjuti surat yang sudah dikirimkan pemerintah kepada DPR. Jadi pemerintah sudah bekerja cepat, tapi pimpinan DPR yang tidak merespons DIM yang sudah masuk itu secara segera,” ujar Eva Kusuma Sundari, Koordinator Koalisi Sipil untuk RUU PPRT kepada Parboaboa pekan lalu.
Eva menjelaskan, seharusnya pimpinan DPR segera melaporkan DIM dari pemerintah dalam rapat paripurna. Setelah itu barulah dibentuk panitia kerja (Panja) bersama antara DPR dengan pemerintah untuk membahas RUU PPRT.
Jika Panja bersama sudah merampungkan pembahasan, barulah RUU PPRT disahkan dalam Rapat Paripurna DPR.
“Ini udah lebih tiga minggu (dari 16 Mei) tidak ada tindak lanjut dari pimpinan DPR, ini ada apa? Teman-teman melakukan upaya agar prosesnya cepat agar jangan disabotase,” tegas, Eva yang juga mantan anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan.
Saat ini pemerintah menunggu pembahasan bersama DPR terkait RUU PPRT. Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi mengatakan pihaknya menunggu agenda pembahasan RUU PPRT dengan DPR.
Hingga kini, menurutnya, Kemenaker belum mendapat informasi ihwal agenda pembahasan RUU PPRT.
“Saat ini kita menunggu waktu DPR untuk melakukan pembahasan dari DIM. Semoga segera diagendakan,” jelas Anwar saat dikonfirmasi Parboaboa.
Kemenaker, kata Anwar, terus berkoordinasi dengan pimpinan DPR agar RUU PPRT bisa segera dibahas bersama.
DPR Diminta Segera Membahasnya
Jala PRT sudah banyak menerima laporan kasus pekerja rumah tangga, sehari lebih dari 12 kasus yang masuk. Kasus itu meliputi penyanderaan PRT, penipuan, pemotongan gaji oleh penyalur, hingga penyekapan oleh majikan.
Sepanjang Januari hingga Mei 2023 saja, Jala PRT mencatat ada 600 aduan pekerja rumah tangga yang disandera pihak penyalur di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jakarta.
“Biasanya PRT itu berbulan-bulan belum disalurkan, mereka diminta uang untuk mengganti biaya makan selama tinggal di penampungan. Selain itu PRT juga disuruh menebus dokumen penting seperti KTP, ijazah, dan kartu keluarga seharga Rp 250 ribu per dokumen,” jelas Lita.
“Kemudian penyekapan, karena selama dalam tempat penampungan mereka tidak boleh berkomunikasi, dan seperti kejadian Siti Khotimah itu dia disalurkan melalui agen yang ia kenal di Facebook,” sambunganya.
Lita meminta DPR percepat pembahasan RUU PPRT karena itu akan sangat penting untuk melindungi pekerja rumah tangga. Bila sudah disahkan, maka undang-undang itu akan memuat mekanisme perekrutan pekerja yang sistematis dan terpadu.
Lita berharap agar RUU PPRT segera disahkan dalam tahun ini. Bila DPR tak kunjung membahasnya dia mengancam akan menggelar mogok makan bersama para PRT.
“Kami mendesak DPR segera membahas RUU PPRT dalam tingkat satu, tahun 2023 harus sudah rampung. Kami menargetkan, kalau dalam seminggu ini tidak ada pembahasan di DPR, kami akan menggelar lagi puasa dan mogok makan,” tegasnya.
Laporan ini merupakan bagian ketiga dari liputan khusus ‘Pekerja Rumah Tangga’.
Reporter: Achmad Rizki Muazam