PARBOABOA, Jakarta - FF (14), korban penganiayaan brutal yang dilakukan MK (15), kini harus menjalani perawatan intensif setelah mengalami cedera cukup parah hingga tulang rusuknya patah.
FF merupakan siswa SMP pada salah satu sekolah di Cimanggu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Ia menjadi korban perundungan (bullying) hingga babak belur dihajar MK, yang juga diketahui sebagai siswa pada sekolah yang sama.
Berdasarkan keterangan Kapolresta Cilacap, Kombes Fannky Ani Sugiharto, kejadian tersebut dipicu oleh pelaku MK yang tidak terima dengan pengakuan korban sebagai bagian dari kelompok 'Barisan Siswa' (Basis).
Korban, kata Fannky, diduga mengaku sebagai anggota kelompok Basis dan menggunakan nama kelompok tersebut untuk menantang kelompok lain.
Sebelumnya, pada Agustus 2023 lalu, seorang siswi kelas 2 SD berinisial SAH di Menganti, Gresik, mengalami buta permanen usai matanya dicolok menggunakan tusuk bakso oleh kakak kelasnya.
Kejadian ini berawal saat sekolah tersebut mengadakan lomba Agustusan untuk memperingati HUT RI ke-78.
Menurut ayah korban, Samsul Arif, putrinya saat itu tengah mengikuti perlombaan di halaman sekolahnya. Tiba-tiba, SAH ditarik oleh seorang siswa yang diduga kakak kelasnya dan dibawa ke sebuah gang di antara ruang guru dan pagar sekolah.
Siswa tersebut, kata Samsul, memaksa SAH untuk memberikan uang jajannya. Namun, SAH menolak, yang kemudian memicu amarah pelaku hingga menusukkan tusuk bakso ke mata kanan korban.
Samsul juga menyebutkan, sebelum melakukan tindakan tersebut, pelaku menutupi wajah SAH dengan tangan. SAH kemudian berlari untuk mencuci matanya yang mengeluarkan air.
Setelah pulang sekolah, SAH mengeluhkan rasa sakit pada mata kanannya dan kesulitan melihat apa pun. Keluarga langsung membawa SAH ke rumah sakit untuk diperiksa.
Dari hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa SAH mengalami kebutaan permanen pada mata kanan akibat kerusakan saraf.
SAH bercerita, perundungan ini bukanlah yang pertama kali dialaminya. Sejak dia masih kelas 1 SD, pelaku sering memintanya uang dengan cara paksa (dipalak).
Akibatnya, korban sering kehabisan uang dan terpaksa tidak bisa membeli jajanan di sekolah.
Guru Tidak Dibekali Keterampilan yang Relevan
Aksi perundungan hingga tindakan kekerasan yang dilakukan para siswa di lingkungan sekolah menjadi catatan kelam dunia pendidikan Indonesia.
Pakar Pendidikan Donie Koesuma melihat, maraknya aksi kekerasan yang dilakukan para siswa di Indonesia dipicu oleh banyak faktor yang sangat kompleks.
Sementara di sisi lain, kata Donie, para pendidik belum memiliki kapasitas mumpuni untuk memahami apalagi mengantisipasi masalah tersebut.
"Guru tidak dibekali pemahaman dan keterampilan yang relevan untuk mengatasi hal ini," ungkap Donie saat dikonfirmasi PARBOABOA, Sabtu (30/9/2023).
Donie juga mengkritisi Kurikulum Merdeka yang digagas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek).
Menurutnya, penerapan Kurikulum Merdeka cenderung mengabaikan persoalan kekerasan yang menjadi salah satu masalah krusial di lingkungan pendidikan.
"Sedangkan Kemdikbudristek asik dengan Kurikulum Merdeka yang latihan-latihannya tidak menyentuh persoalan darurat kekerasan ini," kara Donie.
Perilaku kekerasan yang dilakukan para siswa, kata Donie, juga mempunyai korelasi dengan pola asuh keluarga sebagai wadah pertama pembentukan karakter anak.
"Ada pengaruh pola pengasuhan dalam keluarga. Orang tua cenderung permisif dan memanjakan anak sehingga daya juang lemah dan tidak tahan banting," beber Donie.
Tren Kasus Perundungan di Indonesia
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat tren yang mengkhawatirkan terkait kasus perundungan di lingkungan sekolah selama periode Januari hingga Agustus 2023. Dalam periode ini, terdapat 16 kasus perundungan yang terjadi.
Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) menjadi tingkat pendidikan yang paling rentan terhadap perundungan, dengan menyumbang sekitar 25% dari jumlah keseluruhan kasus.
Selanjutnya, kasus perundungan juga terjadi di Sekolah Menengah Akhir (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dengan proporsi yang sama sebesar 18,75%.
Madrasah Tsanawiyah dan pondok pesantren juga tidak luput dari kasus perundungan, dengan persentase sekitar 6,25%.
FSGI juga mencatat, jumlah korban perundungan selama periode yang sama mencapai 43 orang, dimana 41 di antaranya adalah siswa (95,4%) dan dua di antaranya adalah guru (4,6%).
Pelaku perundungan sebagian besar adalah siswa, yang berjumlah 87 orang atau sekitar 92,5% dari total pelaku. Selebihnya, kasus perundungan melibatkan pendidik (5,3%), orang tua siswa (1,1%), dan bahkan seorang Kepala Madrasah (1,1%).
World Health Organization (WHO) pernah merilis survei yang dilakukan melalui Global School-based Student Health (GSHS) pada tahun 2015.
Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 1 dari 20 remaja di Indonesia pernah merasakan keinginan bunuh diri, dimana 20,9% dari total tersebut dipicu oleh pengalaman traumatis akibat perundungan.
Selain itu, hasil riset Programme for International Students Assessment (PISA) pada tahun 2018 menyebutkan bahwa 41,1% siswa di Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan.
Riset ini sekaligus menempatkan Indonesia di posisi kelima tertinggi dari 78 negara yang diteliti sebagai negara dengan tingkat perundungan tertinggi.
Selain itu, survei yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada tahun 2018 menemukan bahwa dua dari tiga anak perempuan dan laki-laki usia 13-17 tahun di Indonesia telah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan.
Pada tahun 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 53 kasus anak korban perundungan di lingkungan sekolah, sementara 168 kasus terkait perundungan di dunia maya.
Selama periode Januari hingga Oktober 2022, KPAI mencatat, perundungan di lingkungan sekolah mengalami peningkatan mencapai 81 kasus, sementara kasus perundungan di dunia maya mengalami penurunan menjadi 18 kasus.
Program Roots Indonesia
Pada Mei 2023 lalu, Mendikbudristek Nadiem Makarim sepakat, bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang dikategorikan darurat perundungan.
Menurutnya, hasil Asesmen Nasional (AN) Tahun 2021 atau Rapor Pendidikan tahun 2022 menunjukkan, sekitar 25% peserta didik di Indonesia mengalami berbagai bentuk perundungan.
Jenis perundungan yang mereka dapatkan beragam, baik itu secara fisik, verbal, sosial/relasional, maupun secara daring atau cyberbullying.
Karena itu, pemerintah memiliki urgensi besar untuk segera mengatasi perundungan yang ada di lingkungan satuan pendidikan secara efektif dan berkelanjutan.
Menurut Nadiem, salah satu upaya yang tengah dilakukan saat ini adalah menerapkan program Roots Indonesia.
Sejak 2021, melalui program Roots, pemerintah telah melakukan pendampingan kepada 7.369 sekolah jenjang SMP dan SMA/ SMK yang berasal dari 489 kabupaten/ kota di 34 provinsi di Indonesia.
Program tersebut, kata Nadiem, juga telah melatih 13.754 fasilitator guru antiperundungan di jenjang SMP dan jenjang SMA/SMK.
Pada tahun 2023, Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek kembali memulai rangkaian program Roots Indonesia.
Kegiatan ini, kata Nadiem, diawali dengan sosialisasi kepada seluruh dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia secara hibrida.
Nadiem menekankan, perlu adanya kolaborasi antara Kemendikbudristek bersama dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota untuk memastikan lingkungan pendidikan yang aman dan bebas dari tindakan perundungan.