PARBOABOA, Jakarta – Pendekatan komprehensif dan empatik perlu dilakukan dalam melindungi warga negara Indonesia dari tindakan eksploitasi perdagangan manusia.
Hal itu bercermin dari kasus pekerja migran dari pedesaan yang bahkan latar belakangnya pendidikannya berasal dari Strata 1 (S1) dan Strata 2 (S2).
Kondisi tersebut sekaligus menandai peran Indonesia sebagai negara pengirim pekerja migran dan negara transit, belum lepas dari masalah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Polemik ini dibahas dalam Dialog Peringatan Hari Migran Sedunia bertajuk “Memikirkan Ulang Kerentanan Pekerja Migran Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang: Perspektif Migran” yang diselenggarakan secara hibrida, Senin (18/12/2023).
Menurut Eni Lestari, Ketua Aliansi Migran Internasional, dalam kasus TPPO, terutama terkait oknum perdagangan manusia, tantangan utamanya adalah kurangnya dukungan keuangan dari Pemerintah untuk pemulangan. Selain itu, pemerintah hanya memberikan surat izin jalan.
“Tantangan yang dihadapi adalah negara tidak memiliki dana untuk memulangkan mereka dan cenderung menyalahkan mereka sendiri," tutur Eni.
Yuyun Wahyuningrum, Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR), kemudian menambahkan bahwa sulitnya kepulangan migran bermasalah, khususnya akibat TPPO, disebabkan oleh lambannya proses identifikasi.
"Susahnya identifikasi korban, menjadi tantangan. Penggunaan dana APBN juga tidak dapat digunakan jika tidak dibuktikan bahwa yang bersangkutan adalah korban,” sambung Yuyun.
Sementara itu, Kepala Subdirektorat Direktorat Kerjasama Keamanan Politik ASEAN Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Nanda Avalist mengatakan kalau permasalahan itu juga diperburuk dengan kondisi ketidakpahaman akan teknologi.
Pasalnya, kata dia, tidak sedikit yang menjadi korban akibat penipuan online yang menawarkan peluang pekerjaan.
“Kendala yang dihadapi saat ini adalah permasalahan tersebut dianggap sebagai sebuah proyek pemerintah setempat, yang setengah kebal hukum” kata Nanda.
Selain itu, Rahmat dari Serikat Buruh Perikanan Indonesia (SBPI) menceritakan pengalaman 40 anak buah kapal dari berbagai wilayah pesisir di Indonesia sebagai korban perdagangan manusia.
Modusnya pekerja ikan direkrut dari wilayah pesisir namun mereka sendiri tidak pernah tahu akan bekerja di atas kapal ikan. Setelah terjebak mereka diancam akan mendapatkan siksaan jika tidak memenuhi target.
"Bonus yang didapatkan pun sangat sedikit sebesar Rp1.000 per ton dari ikan yang ditangkap manual oleh para Anak Buah Kapal (ABK). Di sana terjadi persaingan ketat antar ABK untuk mendapatkan ikan, cumi, atau hasil laut lainnya," tuturnya.
Di sisi lain, Aktivis HAM Anti-Perdagangan Orang, Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus menilai, negara cenderung tidak serius melihat permasalahan ini. Ia merincikan hal itu disebabkan kebisuan penguasa membungkam suara korban dan aktivis.
Hal itu juga diperburuk dengan keuntungan dibalik perbudakan khususnya para penguasa; ideologi yang melegitimasi bahwa itu dimungkinkan sebagai takdir.
"Aksi tutup mata dari para pemegang kekuasaan, pemerintah, dan korporasi serta perbudakan itu sendiri,” tegasnya.
Kampus sendiri berperan penting memutus mata rantai tersebut. Krisis di berbagai tempat juga turut memicu orang untuk melakukan migrasi karena berbagai sebab.